Thursday, February 25, 2016

MAKALAH: FILSAFAT DAKWAH DAN FILSAFAT BARAT

A.    PENDAHULUAN
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senantiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah. Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu dan ahirnya menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
            Dan pada pembahasan makalah ini akan diuraikan tentang Filsafat Dakwah dan Filsafat Barat. Mengenai hal tersebut maka memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa yang bisa kita pahami dari filsafat dakwah dan filsafat barat? dan adakah hubungan maupun kaitan antara keduannya?
            Mengingat luasnya pokok pembahasan terhadap judul yang telah disebutkan tadi, maka pemakalah akan mencoba menyempitkan atau hanya akan memfokuskan kepada pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas.



B.    PEMBAHASAN 
1.     Filsafat Dakwah
a.     Pengertian dan Tujuan Filsafat Dakwah
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arabفلسفة”, yang juga diambil dari bahasa Yunani philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.[1]
Menurut istilah, filsafat adalah ilmu istimewa yang menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud diluar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.[2] Dalam arti praktis filsafat mengandung arti alam berfikir/alam pikiran, sedangkan berfilsafah ialah berfikir secara mendalam atau radikal atau dengan sungguh–sungguh sampai keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran atau dengan kata lain berfilsafat mengandung arti mencari kebenaran atas sesuatu.[3]
Kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Ism fa’ilnya (red. pelaku) adalah da’I yang berarti pendakwah. Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’I sebagai orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya . Merujuk pada Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu Dakwah karangan Moh. Ali Aziz (2009:6), kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali. Definisi dakwah dari literature yang ditulis oleh pakar-pakar dakwah antara lain adalah:[4]
1.     Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik (Aboebakar Atjeh, 1971:6).
2.     Dakwah adalah menyeru manusia kepada kebajikan dan petunjuk serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat (Syekh Muhammad Al-Khadir Husain).
3.     Dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata (M. Abul Fath al-Bayanuni).
4.     Dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti (akhirat) (A. Masykur Amin)
Dari defenisi para ahli di atas maka bisa kita simpulkan bahwa dakwah adalah kegiatan atau usaha memanggil orang muslim mau pun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada Islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian ajaran Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata agar bisa hidup damai di dunia dan bahagia di akhirat. Singkatnya, dakwah, seperti yang ditulis Abdul Karim Zaidan, adalah mengajak kepada agama Allah, yaitu Islam.
Setelah kita ketahui makna dakwah secara etimologis dan terminologis maka kita akan dapatkan semua makna dakwah tersebut membawa misi persuasive bukan represif, karena sifatnya hanyalah panggilan dan seruan bukan paksaan. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha fiddin) bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Maka penyebaran Islam dengan pedang atau pun terror tidaklah bisa dikatakan sesusai dengan misi dakwah.
Adapun pengertian filsafat dakwah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara kritis dan mendalam tentang dakwah (tujuan dakwah, mengapa diperlukan proses komunikasi dan transformasi ajaran dan nilai-nilai islam dan untuk mengubah keyakinan, sikap dan perilaku seseorang khas islam) dan respon terhadap dakwah yang dilakukan oleh para da’i dan mubalig, sehingga orang yang didakwahi dapat menjadi manusia-manusia yang baik dalam arti beriman, berakhlak mulia seperti yang diajarkan oleh islam.[5]
Menurut Drs. Syukriadi Sambas, M. Si dalam bukunya filsafat dakwah halaman 5 menyebutkan bahwa filsafat dakwah memiliki pengertian sebagai berikut:
1)     Pengertian filsafat dakwah dapat diturunkan dari al-Qur’an, yaitu “Hikmah” (an-Nahl: 125). Adapun pengertian hikmah menurut pakar kebahasaan adalah:
a.      Adil, ilmu, sabar, kenabian, al-Qur’an, dan injil.
b.     Ungkapan sesuatu untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama, dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan cermat dan teliti disebut hakim.
c.      Alhakim, yaitu orang yang cermat dalam segala urusan, atau orang yang bijak, yakni orang yang telah tertimpa berbagai pengalaman.
d.     Alhakam atau alhakim, yaitu penguasa dan hakim yang menghukumi dan memperbaiki sesuatu.
e.      Alhikmah, yaitu objek kebenaran (alhaq) yang didapat melalui ilmu dan akal.
f.      Mencegah perbuatan bodoh, membuat sesuatu menjadi baik dan mencegah sesuatu jangan sampai meleset dari yang dikehendaki.
g.     Mencegah orang dari perbuatan tercela.
h.     Mencegah kezholiman.
2)     Pengertian hikmah menurut para pakar filsafat al-Qur’an
Para pakar filsafat al-Qur’an sebagai para pakar filsafat dakwah telah merumuskan pengertian hikmah ini tidak kurang dari 25 pengertian, diantaranya:
a)     Validitas dalam perkatan dan perbuatan.
b)     Mengetahui yang benar dan mengamalkannya
c)     Meletakkan sesuatu pada tempatnya
d)     Menjawab segala sesuatu dengan tepat dan cepat
e)     Memperbaiki perkataan dan perbuatan
f)      Tepat dalam perkataan dan perbuatan serta meletakkan sesuatu pada tempatnya.
g)     Takut kepada Allah SWT, mengamalkan ilmu, dan wara dalam agama
h)     Kenabian mengandung hikmah, karena nabi diberi hikmah, selalu dalam perkataan, keyakinan, dan bahkan dalam semua persoalan.
i)      Perkataan tegas dan benar yang dapat membedakan yang hak dan batil.
Dari pengertian hikmah menurut pakar kebahasaan dan pakar al-Qur’an tersebut, filsafat dakwah dapat dirumuskan sebagai “ketepatan perkataan, perbuatan, dan keyakinan serta meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dalam mendakwahi manusia menuju jalan Allah.”[6]
Pengertian filsafat dakwah berdasarkan makna filsafat sebagai kegiatan berpikir sesuai dengan hukum berpikir, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)     Pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan menyeluruh tentang dakwah islam sebagai sebuah sistem aktualisasi ajaran islam di sepanjang jalan.
2)     Aktivitas pikiran yang teratur, selaras, dan terpadu dalam mencandra hakekat dakwah islam pada tataran konsep dan tataran realitas.
3)     Pengetahuan murni tentang proses internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi islam di sepanjang zaman.
4)     Analisis logis, radikal, objektif, dan proforsional dalam membahas term-term dakwah islam baik dari sisi teoritis maupun praktis.
Tujuan filsafat dakwah menurut Drs. Syukriadi Sambas, M. Si dalam bukunya filsafat dakwah halaman 8 adalah sebagai berikut:
1)     Memberikan landasan dan sekaligus menggerakkan proses dakwah islam yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah secara objektif-proforsional.
2)     Melakukan kritik dan koreksi proses dakwah islam dan sekaligus mengevaluasinya.
3)     Menegakkan kebenaran dan keadilan di atas dasar taihudullah dan tauhid risalah.
4)     Mensyukuri nikmat akal dengan menerangkannya sesuai fungsi peruntukkannya.
5)     Upaya penyempurnaan jiwa manusia baik dari sudut teoritis maupun praktis.
Tujuan filsafat dakwah adalah dapat meberikan pemahaman yang bersifat universal tentang suatu unit ajaran islam secara mendalam, mendasar dan fradikal sampai keakar-akrnya, sehingga akhirnya dapat membawa kepada kebenaran yang hakiki, kebenaran hakiki tersebut terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai seorang islam. Lebih jauh bertujuan memberikan kepuasan kepada sebahagian jiwa yang amat berharga juga mengantarkan seorang sampai kepada keprcayaan keagamaan yang benar, yang kalausebelumnya hanya diterima secara domatis dan absolute.maka pada akhirnya bukan hanya mitologis semata, tetapi juga diterima malaui kerangka fikirin yang rasional juaga akan memberi artinya penting dalam menyadari otoritas dirinya sebagai makhluk yang berdimensi dalam memahami diri.
Agar akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, al-quran meletakan kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal.[7] Antara lain:
1)     Tidak melampaui batas, dalam realitas yang dihadapi akal manusia terdapat persoalan yang tidak bisa dipecahkan diluar jangkauannya, dan bahkan bukan wewenamgnya. Persoalan-persoalan itu hanya dapat dipahami secara hakiki melalui pernyataan wahyu al-Quran. (Q.S. 6:59 dan Q.S. 31:34).
2)     Membuat pikirandan penetapan (al-taqdir wa al-taqrir). Sebelum memutuskan suatu keputusan, terlebih dahulu dilakukan penetapan dan perkiraan tentang persoalan yang dipikirkan dengan tekun dan teliti, tidak tergesa-gesa. (Q.S. 49:6 dan Q.S. 75:16).
3)     Membatasi persoalan sebelum melakukan penelitian. Akal tidak akan mampu memikirkan sesuatu diliar jangkauannya tanpa ada pembatasan. Begitu juga dalam kajian ilmiah.kajiannya dibatasi oleh objek kajian yang telah diketahui. Membicarakan suatu objek yang tidak diketahui bukanlah kajian ilmiah. (Q.S. 17:36)
4)     Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran. Jika suatu kegiatan ilmiah disertai dengan sikap seperti ini, kebenaran ilmiah yang hakikitidak akan teraih, bahkan akan merusak ukhuwah islamiyah. (Q.S. 6:7)
5)     Melakukan chek dan recheck. Dalam mencari kebenaran hakiki perlu dilakukan penelitian dan pengkajian ulang terhadap objek pikir secara cermat dan teliti.
6)     Berpegang teguh pada kebenaran hakiki. Akal mesti tunduk kepada kebenaranmutlak yang ditopang oleh dalil-dalil yang pasti, untuk kemudian mengimaninya dengan menyingkirkan kergu-raguan. (Q.S. 49:15 dan Q.S. 2:147)
7)     Menjauhkan diri dari tipu daya. Kepalsuan dan fatamorgana yang lahir dari dorongan hawa nafsu adalah sesuatu yang akan memperdayakan dan menipu kejernihan bepikir.
Berkenaan dengan model pemikiran filosofis dakwah, menurut Amrullah Ahmad (1996), berangkat dari hakikat ilmu dakwah, yaitu ilmu membangunkan dan mengembalikan manusia pada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia serta meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut al-Quran dan sunnah. Selain itu, ia menegaskan bahwa ilmu dakwah ialah ilmu perjuangan bagi umat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan perdaban islam.
Metode pemikiran filsafat dakwah dibangun dengan berdasarkan pada konsep Tauhidullah. Dari konsep ini dibangun aksiologi, epistemology, dan metodologi keilmuan dakwah yang mengacu pada hukum-hukum berpikir dari ayat Qur’aniyah dan hukum-hukum yang terdapat dalam ayat kauniyah.[8]  Mengacu pada pemikiran filosofis yang didasarkan pada konsep tauhid tersebut, Amrullah Ahmad mengajukan lima macam metode keilmuan dakwah:
1)     Pendekatan analisis system dakwah,
2)     Metode historis,
3)     Metode refektif,
4)     Metode riset dakwah partisipatif, dan
5)     Riset kecenderungan gerakan dakwah.

b. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Dakwah Islam
a)     Periode Nubuat
Kegiatan dakwah pertama dari para nabi dan tujuan mereka yang terbesar di setiap zaman dalam setiap lingkungan adalah menegakan keyakinan Tauhidullah dan beribadah hanya kepada-Nya yang menjadi tugas fitri kemanusiaan sebagai khalifah dan Abdi Allah dimuka bumi. Dan disampaikan pula pesan utama tentang perjalanan hidup manusia, yaitu al-mabda (asal kehadiran manusia), al-wasath (keberadaan manusia di alam kesadaran duniawi), al-ma’ad (tempat kembali mempertanggungjawabkan tugas fitri kemanusiaan).
Adapun tugas-tugas kenabian dapat disimpulkan dalam tiga perkara. Pertama, seruan untuk beriman kepada Allah dan ke-Esaan-Nya. Kedua, iman kepada hari akhir dan balasan terhadap amal-amal pada hari itu. Ketiga, penjelasan hukum-hukum yang di dalamnya terdapat kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Berkenaan dengan missi para nabi dipusatkan dan diarahkan kepada pemberantasan berhala di masa-masa mereka, yang tercermin dalam bentuk penyembahan patung-patung, berhala-berhala dan orang-orang suci, baik orang yang masih hidup maupun sudah mati.
Seandainya akal manusia bertindak sendirian dalam memahami kebenaran-kebenaran ini, maka tidak akan dapat menjangkaunya, khususnya dalam perkara-perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia dan pengetahuan tanpa wahyu yang disampaikan Allah kepada nabi-nabi.
Para filosof Yunani dan lainnya telah berusaha mempelajari ke-Tuhana-an, maka mereka pun mengemukakan pendapat-pendapat yang saling bertentangan sebagaimana para ulama di zaman ini berbeda pendapat dalam menafsirkan ke-Tuhana-an. Sementara para nabi datang membawa kepastian dalam penafsiran dan penentuan kekuatan Ilahi dengan pendapat yang menentramkan hati.
Dari 25 nabi yang disebutkan dalam Al-Quran ada yang diberi al-Kitab, Shuhuf (lembaran wahyu), dan Hikmah. Secara eksplisit nabi yang diberi hikmah selain al-kitab adalah nabi Daud a.s, Sulaeman a.s, Isa a.s dan nabi Muhammad saw. selain para nabi, ada seorang hamba Allah swt yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran oleh Allah SWT diberi hikmah, yaitu Luqman. Dan nama Luqman ini menjadi nama salah satu surah dalam mushhaf al-Quran yaitu surah Luqman surah ke 31. Dan dari surah Luqman inilah dapat dibangun secara spesifik struktur filsafat dakwah.[9]
Luqman al-Hakim hidup sezaman dengan nabi Daud a.s yang juga diberi hikmah oleh Allah swt. Luqman ini adalah bapak filsafat selain nabi, sebagai filosof pertama Yunani, yaitu Empedockles berguru kepada Luqman kemudian menyusul Pytagoras murid Empedockles, setelah itu secara berturut-turut menyusul Socrates, Plato, dan Aristoteles. Kelima filosof ini hidup dalam rentangan kurun waktu antara nabi Daud a.s hingga sebelum nabi Isa a.s. dan salah seorang murid Aristoteles adalah Alexander (Iskandar Zulkarnaen), ia belajar hikmah kepada Aristoteles selama 20 tahun.
Maka jalur pemikiran hikmah (kefilsafatan) para filosof yang bukan nabi yaitu Luqman dan generasi yang berikutnya, maka menisbahkannya pemikiran filosofis itu kepada Hermes, dan rentangan waktu antara Hermes hingga awal hijrah nabi terakhir adalah  kurang lebih 3725 tahun (perhitungan menurut Abu Ma’syar).
b)     Periode al-Khulafa al-Rasyidin
Estapeta aktivitas dakwah dalam tataran teoritis dan praktis, sepeninggal rasul terakhir Muhammad saw dilanjutkan oleh pelanjutnya, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun (para pelanjut yang memperoleh dan melaksanakan Islam ingga bimbingan kehidupan). Pemikiran dakwah yang berkembang pada periode ini adalah metode naql dan aql secara seimbang orientasi utama pengembangan dakwah berupa futuhat yaitu konsolidasi dan ekspansi Islam di semenanjung Arabia dan sekitarnya. Produk pemikiran dan aktivitas dakwah al-Khulafa al-Rasyidun ini disebut atsar shahabat, yang memuat khazanah Islam. Merek adalah Abu Bakar (632-634 M), Umar Ibn Khathab (634-644 M), Usman Ibn Affan (644-655 M), dan Ali Ibn Abi Thalib (656-661 M).
Perlu diketahui, bahwa futuhat adalah proses menghadirkan dan mendatangkan Islam ke daerah-daerah yang dituju dengan tidak memaksa rakyat (mad’u) untuk merubah agamanya, mereka menerima dan memeluk Islam bukan karena paksaan tetapi atas dasar pilihan dan kebebasan kehendaknya setelah mempertimbangkan secara obyektif-proposional terlebih dahulu.[10]
Adapun hikmah praktis telah diperoleh para al-Khulafa al-Rasyidun melalui prilaku, banyak mengamalkan ilmu dengan jujur dan ikhlas, istiqamah, pengalaman dan kemahiran, strategi yang bijak, dan memahami sendi-sendi dakwah mereka memandang penting penggunaan akal dalam kehidupan, misalnya, berikut ini sebagai contoh pandangan khalifah Ali r.a dalam syair: “bila Tuhan menyempurnakan akal seseorang, sempurnalah akhlak dan kepakaran orang itu. Pemberian Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akalnya, karena tidak ada kebaikan yang sebaik akal. Dengan akal, seorang pemuda dapat hidup eksis di tengah manusia, karena ilmu dan pengamatannya senantiasa rasional.
c)     Periode Tabi’in
Bicara tentang tabi’in, Tabi’in adalah mereka yang hidup sesudah generasi sahabat nabi. Mereka adalah orang-orang yang mampu bersikap bijak dalam menyalurkan kewajiban dakwahnya. Tokoh pemikir dakwah (rijal al-dakwah) pada periode ini diantaranya adalah Said bin Musayab, Hasan bin Yaser al-Bashri, Umar bin Abd al-Aziz dan Abu Hanifah. Umar bin Abd al-Aziz adalah seorang khalifah pada zaman Daulah Bani Umayah.
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan oleh keempat tokoh pada periode ini adalah memulai dengan memperbaiki diri sendiri, memperbaiki keluarga, memperbaiki umat, mengembangkan dakwah dengan surat, menanamkan perasaan takut kepada Allah, berpegang teguh pada agama Allah, dan memperhatikan umat non muslimin.
Pada zaman ini, metode pemikiran dakwah lebih banyak menggunakan penalaran metode muhaditsin, yang lebih banyak berorientasi pada naql ketimbang ‘Aql sebagaimana digunakan dalam penalaran metode mutakalimin.
d)     Periode Tabi al-Tabi’in
Sebutan Tabii al-tabiin adalah ditujukan bagi generasi yang hidup setelah tabiin yang mendapat nilai keutamaan. Tokoh utama pada periode ini yang tergolong rijal al-dakwah Imam bin Anas, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Periode a dan b dapat dikategorikan pula sebagai periode Salaf, dan setelah periode salaf disebut periode Khalaf. Kajiannya lebih berorientasi pada syariat sebagai pesan dakwah.[11]
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan pada periode ini tidak jauh berbeda dengan hikmah praktis (2) bagian (a) yang telah dikemukakan. Namun dapat ditambahkan bahwa rijal al-dakwah pada periode ini menonjolkan sikap dan perilaku hikmah, yaitu berpikir sebelum menjawab dalam berdialog, menolak sesuatu secara bijak dan bertindak tegas dalam hal kebenaran.
Sedangkan hikmah teoritis yang dikembangkan pada periode tabii-al tabiin adalah metode penalaran mutakalimin dengan tidak mengabaikan metode penalaran muhaditsin.
e)     Pasca Periode Tabi’I al-Tabi’in
Pada periode ini dapat dikategorikan sebagai periode khalaf, suatu periode dengan 300 tahun setelah zaman nubuwah. Hikmah teoritis dan hikmah praktis dikembangkan dengan metode penalaran yang pernah berkembang sebelumnya dengan ditandai munculnya berbagai corak pemikiran di dalam berbagai bidang kajian keislaman sebagai hasil dari akumulasi interaksi antarbudaya dalam perjalanan aktivitas dakwah sebagai aktualisasi dari hikmah (pemikiran filosofis dakwah).[12]
Dalam tataran hikmah teoritis dari segi metodologi pada periode khalaf ini dapat digolongkan kepada: Pertama, kelompok pengguna penalaran Isyraqi (iluminasionisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Plato dengan tidak mengabaikan metode naql. Kedua, kelompok pengguna penalaran masya’I (peripatetisisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Aristoteles dengan tidak mengabaikan metode naql. Rijal al-dakwah pendukung metode sebagaimana disebutkan diatas adalah kelompok Mu’tazilah, Asyariyah dan  Syi’ah. Mereka telah mengkaji tentang konsep teologi sebagai pesan dakwah, konsep manusia dan konsep alam.
Dari kalangan sufi yang menggunakan metode irfan, pemikiran mereka lebih menekankan pada kontek dakwah nafsyiyah (internalisasi ajaran Islam pda tingkat intra individu), antar pribadi dan kelompok di atas dasar cinta kepada Tuhan dengan tidak mengabaikan dasar syariat yang lebih mengatur aspek perilaku lahiriyah.
f)      Periode Modern
Periode modern merupakan era kebangkitan Islam yang ditandai adanya tokoh pejuang Islam berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power terhadap penjajahan Barat yang menguasai dunia Islam. Pada era ini diawal gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Abd al-Wahab dan para pendukungnya sejak tahun 1801 M hingga sekarang.
g)     Aktivitas Pemikiran Dakwah Sebagai Aktivitas Kebudayaan dan Peradaban Islam
Dalam hal ini, penelusuran, pelacakan, dan pengkajian perkembangan pemikiran dakwah dapat pula dipandang sebagai aktivitas kebudayan dan peradaban Islam dengan menggunakan alur berpikir kesejarahan. Dengan demikian, maka perkembangannya dapat distrukturkan ke dalam periodesasi.[13]
Periode klasik merupakan masa kemajuan Islam I, yaitu pada tahun 650-1000 masehi. Pada tahun 1000-1250 masehi merupakan masa disintegrasi. Pada periode berikutnya, yaitu periode pertenganhan merupakan masa kemunduran I (125-1500 M). yang selanjutnya adalah periode modern, yaitu pada tahun 1800 sampai sekarang. Pada tiga periode ini, pada hakekatnya kegiatan pemikiran dan aktivitas dakwah berlangsung, sebab jika kegiatan dakwah itu berhenti, maka akan berhenti pula perkembangan kehidupan umat Islam di alam jagat raya ini.

2.     Filsafat Barat
a.     Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah sebutan yang digunakan untuk pemikiran-pemikiran filsafat dalam dunia Barat atau Occidental. Permulaan dari sebutan Filsafat Barat ini dari keinginan untuk mengarah kepada pemikiran atau falsafah peradaban Barat.[14] Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes,Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.[15]
Tujuan Filsafat Barat yaitu menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai kedalamannya, sampai keradikal dan totalitas.
Kata Filsafat berasal dari bahasa yunani, namun bukan saja nama filsafat berasal dari bahasa Yunani, melainkan juga isi konsep yang ditunjukkan dengan nama ini merupakan suatu penemuan Yunani yang khas. Pada abad ke-6 sebelum Masehi telah terjadi berbagai peristiwa menakjubkan dan ajaib di Yunani, yang dalam istilah kerennya adalah “the Greek miracle” (bahasa Inggris). Timbulnya filsafat di Yunani pada saat itu memang biasa dikatakan sebagai suatu peristiwa ajaib, sebab tidak mungkin memberi alasan alasan yang akan menerangkan kejadian itu secara memuaskan. Namun demikian ada beberapa factor yang sudah mendahului dan seakan akan mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. Adapun factor factor sebagai penyebab lahirnya filsafat adalah sebagai berikut:
            Pertama, adalah bahwa bangsa Yunani seperti juga bangsa bangsa sekitarnya, terdapat adanya mitologi yang kaya dan luas. Mitologi itulah yang merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah memberi jawaban atas petanyaan pertanyaan yang timbuh dalam hati manusia. Misalnya, dari manakah dunia ini ?, dari manakah peristiwa peristiwa yang terjadi di dalam alam ini?, apa sebab terjadi pelangi ? dan lain sebagainya. Melalui mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam semesta dan tentang kejadian kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite macam pertama yang mencari keterangan tentang asal usul alam semesta, lalu disebut dengan istilah mite kosmogonis, sedangkan mite jenis kedua yang mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian kejadian dalam alam semesta disebut mite kosmologis.
            Bagi bangsa Yunani, bahwa dengan mengadakan beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceriterakan oleh rakyat supaya menjadi sistematis. Dengan demikian, maka usaha mensistematiskan mite-mite itu telah tampak sifat rasionalnya . Karena dengan mencari dan mensistematiskan itu, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan dengan mite lain. Di sini mereka sudah tampak mulai berpikir secara rasional.
            Kedua, adalah adanya kesusasteraan Yunani, di sini tampak sebagai persiapan yang mempengaruhi timbulnya filsafat, asal saja dipakainya kata itu dalam arti seluas luasnya, sehingga meliputi juga teka-teki, dongeng-dongeng, dan lain seagainya. Misal karya puisi Homeros yang terdiri dari dua puisi, yaitu Ilias dan Odyssea yang dibuat pada tahun 850 s.M. dan puisi itu mempunyai kedudukan istimewa dalam kesusastraan pada waktu itu. Syair-syair dalam puisi tersebut lama digunakan, karena dapat dipakai sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Apabila dilihat peranan syair-syair puisi buatan Homeros dalam kebudayaan Yunani kuno, dapat dibandingkan dengan peranan wayang  dalam kebudayaan Jawa pada jaman dahulu. Oleh sebab itu puisi buatan Homeros sangat digemari oleh rakyat Yunani untuk mengisi waktu terluang dan juga mempunyai nilai edukatif. Bahkan para filsuf Yunani pun sering kali menyebut nama Homeros, missal Xenophanes, Plato, dan Aristoteles yang menyebut-nyebutnya.
            Ketiga, adalah adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang pada waktu itu sudah muncul di Timur Kuno. Ilmu pengetahuan yang muncul di Timur Kuno itu adalah ilmu ukur dan ilmu hitung dari Mesir. Oleh sebab itu, bangsa Yunani pun merasa berhutang budi kepada bangsa lain, karena menerima beberapa unsure ilmu pengetahuan dari mereka. Namun andil dari bangsa bangsa lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan Yunani juga tidak dapat dilebih-lebihkan, karena bangsa Yunani telah mengolah unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut yang tidak diduga-duga oleh bangsa Mesir dan Babylonia. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut oleh bangsa Yunani dijadikan suatu corak yang sungguh-sungguh ilmiah. Hal ini dapat dilihat seperti diceriterakan oleh seorang sejarawan Yunani yang hidup sekitar abad ke-5 s. M, yaitu Herodotos yang menceriterakan, bahwa ilmu ukur dan ilmu hitung yang berkembang di Mesir itu, karena di Mesir setiap tahun dirasakan keperluanya, yaitu untuk mengukur kembali tanah-tanah setelah terjadi banjir setiap tahun di sungai Nil. Namun pada orang Yunani ilmu ukur yang disebut “geometria” (artinya: pengukuran tanah) tidak dijalankanya dalam suatu konteks praktis seperti yang dipakai bangsa Mesir, melainkan mulai mempelajari ilmu pengetahuan tersebut dengan tidak mencari untung (Inggris: disinterestedly). Di negeri Yunani ilmu pasti, astronomi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi keuntungan yang letaknya di luar ilmu pengetahuan itu.
b.     Perkembangan Filsafat Barat Modern
Akhir abad ke 16 Eropa memasuki abad sangat menentukan dalam dunia perkembangan filsafat, sejak Descartes, Spinoza dan Leibniz mencoba untuk menyusun suatu sistem filsafat dengan dunia yang berpikir dalam pusatnya, yaitu suatu sistem berpikir rasional. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason)  adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme pada dasarnya ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan filsafat, dalam agama rasionalisme adalah lawan autoritas.[16] Sementara dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam filsafat berguna sebagai teori pengetahuan.
Sejarah rasionalisme pada esensialnya sudah ada sejak Thales ketika merumuskan filsafatnya, kemudian pada kaum sofis dalam melawan filsafat Socrates, Plato dan Aristoteles, dan beberapa filsuf sesudahnya. Dalam abad modern tokoh utama rasionalisme adalah Rene Descartes,[17] sebab Descarteslah orang yang membangun fondasi filsafat jauh berbeda bahkan berlawanan dengan fondasi filsafat abad pertengahan.[18] Dasar filosofis utama Descartes adalah bahwa perkembangan filsafat sangat lambat bila dibandingkandengan laju perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambatnya perkembangan filsafat. Descartes ingin melepaskan dari dominasi gereja dan mengembalikan pada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Dengan demikian corak utama filsafat modern yang dimaksud di sini adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani kuno. Rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes, kemudian dikembangkan lagi oleh Spinoza, Leibniz dan Pascal.
Pada pertengahan abad ke 20 ilmu pengetahuan positif berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Salah satu metode kritis yang berkembang pada waktu itu yaitu munculnya filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir kritis. Fenomenologi adalah metode yang diperkembangkan oleh Edmund Husserl berdasarkan ide-ide gurunya Franz Brentano. Menurut Husserl bahwa objek harus diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu dengan cara deskripsi fenomenologi yang didukung oleh metode deduktif, tujuannya adalah untuk melihat hakikat gejala-gejala secara intuitif. Sedangkan metode deduktif mengkhayalkan fenomena berbeda, sehingga akan terlihat batas invariable dalam situasi yang berbeda.
Filsafat untuk  abad sekarang bukan lagi barang baru dan momok yang harus ditakutkan oleh banyak orang, tetapi yang menjadi kendala dalam menyampaikan maksud-maksud filsafat kepada masyarakat secara luas yaitu bahasa. Filsuf dalam kondisi seperti itu harus menaruh perhatian besar guna menjelaskan kaidah-kaidah bahasa dalam filsafat agar mudah dipahami oleh masyarakat. Perhatian terhadap bahasa tersebut awalnya dilakukan inilah muncul metode analisis bahasa. Metode analisis bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Tugas filsafat bukan saja membentuk pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap logika bahasa.[19]
Filsafat dengan demikian sejak kemunculanya sampai sekarang telah memberikan warna menarik, terutama dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan sambil memberikan jawaban-jawaban kepada kita sebagai manusia yang hidup pada abad modern ini.




C.    PENUTUP
Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas maka kita dapat menimpulkan bahwa, antara filsafat dakwah dan filsafat barat itu tidaklah sama, keduannya jauh berbeda. Ini merupakan dua buah disiplin ilmu yang berbeda dan memiliki pijakan yang berbeda.
Filsafat barat adalah hasil pemikiran-pemikiran filosof  barat, yang mana tujuan dari filsafat barat ini adalah menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai kedalamannya, sampai keradikal dan totalitas. Jadi disini kita melihat bahwa didalam filsafat barat tidak ada batasan dalam halnya mempergunakan akal, tidak sama halnya dengan filsafat dakwah.
Sedangkan, filsafat dakwah ini adalah hasil pemikiran para filsuf Islam. Dan dalam filsafat dakwah sudah sangat jelas bahwasanya al-Qur’an memberi batasan bagi akal, agar akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, al-Quran meletakan kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal, diantaranya; tidak melampaui batas, membuat pikiran dan penetapan (al-taqdir wa al-taqrir, membatasi persoalan sebelum melakukan penelitian, tidak sombong dan tidak menentang kebenaran, melakukan chek dan recheck, berpegang teguh pada kebenaran hakiki, menjauhkan diri dari tipu daya. Jadi koridornya itu adalah al-Qur’an. Dan tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman secara mendalam tentang suatu unti ajaran Islam, dan hasil yang diinginkan adalah orang yang didakwahi bisa menerima akan sebuah kebeneran dan patuh terhadap ajaran Islam, serta bertambah kuat imannya kepada Allah Sang pencipta alam.



Daftar Pustaka
A.Hanafi. 1981. Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Bandung: PT Bina Ilmu
Bakker, Anton. 1986. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Machfoed, Ki Musa A. 2004. Filsafat Dakwah. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mustansyir, Rizal. 2001. Filsafat Analitik, Sejarah Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Poerwanta. 1988. Seluk-Seluk Filsafat Islam. Bandung: PT Rosda.
Sambas,Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.







[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat#Etimologi. Tgl. 23 Januari 2016  pkl. 08:15
[2]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Bandung: PT Bina Ilmu, 1979), hal 80.
[4]http://msibki3.blogspot.com/pengertian-dakwah. Tgl. 23 Januari 2016 pkl. 08:35
[5]Ki Musa Machfoeld A, Filsafat Dakwah, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2004), hal xv.
[6] Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah, (Bandung: KP HADID, 1999), hal 7.
[7]Ibid, hal 20.
[8]Ibid, hal 27.
[9]Ibid, hal 31.
[10]Ibid, hal 34
[11]Ibid, hal 35.
[12]Ibid, hal 36.
[13]Ibid, hal 38.
[14]Robert Audi.1995.The Cambridge Dictionary Of Philosophy.Cambridge University Press:United Kingdom.
[15]Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm. 153
[16]A. Hanafi, Ihktisar sejarah filsafat barat, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), Hlm. 55
[17]Anton Bakker, Metode-metode filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Hlm. 68
[18]Lihat, Ahmad Tafsir. Hlm. 129
[19]Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, sejarah, perkembangan, dan peranan para tokohnya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 7-8 

No comments:

Post a Comment