A. PENDAHULUAN
Dalam menghadapi
seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senantiasa terkagum atas apa yang
dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan
mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada
agama atau kepercayaan Ilahiah. Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap
iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya
untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas)
itu. Proses itu mencari tahu dan ahirnya menghasilkan kesadaran, yang disebut
pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren,
dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu
pengetahuan.
Dan pada pembahasan makalah ini akan
diuraikan tentang Filsafat Dakwah dan Filsafat Barat. Mengenai hal tersebut
maka memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa yang bisa kita
pahami dari filsafat dakwah dan filsafat barat? dan adakah hubungan maupun
kaitan antara keduannya?
Mengingat luasnya pokok pembahasan
terhadap judul yang telah disebutkan tadi, maka pemakalah akan mencoba
menyempitkan atau hanya akan memfokuskan kepada pertanyaan-pertanyaan tersebut
diatas.
B.
PEMBAHASAN
1. Filsafat Dakwah
a.
Pengertian dan Tujuan Filsafat Dakwah
Kata
falsafah atau filsafat dalam bahasa
Indonesia merupakan kata
serapan dari bahasa
Arab “فلسفة”, yang juga diambil dari bahasa
Yunani philosophia. Dalam bahasa ini, kata
ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan,
cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah
seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa
Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.[1]
Menurut
istilah, filsafat adalah ilmu istimewa yang menjawab masalah-masalah yang tidak
dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud
diluar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.[2]
Dalam arti praktis filsafat mengandung arti alam berfikir/alam pikiran,
sedangkan berfilsafah ialah berfikir secara mendalam atau radikal atau dengan
sungguh–sungguh sampai keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran atau dengan kata
lain berfilsafat mengandung arti mencari kebenaran atas sesuatu.[3]
Kata
dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa
yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Ism fa’ilnya (red. pelaku)
adalah da’I yang berarti pendakwah. Di dalam kamus al-Munjid fi
al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’I sebagai orang yang
memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya . Merujuk pada
Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu Dakwah karangan Moh. Ali Aziz (2009:6), kata
da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta tolong,
meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan,
mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran kata dakwah
ditemukan tidak kurang dari 198 kali. Definisi dakwah dari literature yang
ditulis oleh pakar-pakar dakwah antara lain adalah:[4]
1. Dakwah adalah perintah mengadakan seruan
kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar
dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik (Aboebakar Atjeh, 1971:6).
2. Dakwah adalah menyeru manusia kepada kebajikan
dan petunjuk serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemungkaran agar
mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat (Syekh Muhammad Al-Khadir Husain).
3.
Dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada
seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata (M. Abul Fath
al-Bayanuni).
4.
Dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama
Islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam, agar mereka
mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti (akhirat) (A.
Masykur Amin)
Dari
defenisi para ahli di atas maka bisa kita simpulkan bahwa dakwah adalah
kegiatan atau usaha memanggil orang muslim mau pun non-muslim, dengan cara
bijaksana, kepada Islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian ajaran
Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata agar bisa hidup damai di dunia
dan bahagia di akhirat. Singkatnya, dakwah, seperti yang ditulis Abdul Karim
Zaidan, adalah mengajak kepada agama Allah, yaitu Islam.
Setelah
kita ketahui makna dakwah secara etimologis dan terminologis maka kita akan
dapatkan semua makna dakwah tersebut membawa misi persuasive bukan represif,
karena sifatnya hanyalah panggilan dan seruan bukan paksaan. Hal ini
bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha fiddin) bahwa tidak ada paksaan
dalam agama. Maka penyebaran Islam dengan pedang atau pun terror tidaklah bisa
dikatakan sesusai dengan misi dakwah.
Adapun
pengertian filsafat dakwah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara
kritis dan mendalam tentang dakwah (tujuan dakwah, mengapa diperlukan proses
komunikasi dan transformasi ajaran dan nilai-nilai islam dan untuk mengubah
keyakinan, sikap dan perilaku seseorang khas islam) dan respon terhadap dakwah
yang dilakukan oleh para da’i dan mubalig, sehingga orang yang didakwahi dapat
menjadi manusia-manusia yang baik dalam arti beriman, berakhlak mulia seperti
yang diajarkan oleh islam.[5]
Menurut
Drs. Syukriadi Sambas, M. Si dalam bukunya filsafat dakwah halaman 5
menyebutkan bahwa filsafat dakwah memiliki pengertian sebagai berikut:
1)
Pengertian filsafat dakwah dapat diturunkan dari al-Qur’an, yaitu
“Hikmah” (an-Nahl: 125). Adapun pengertian hikmah menurut pakar kebahasaan
adalah:
a.
Adil, ilmu, sabar, kenabian, al-Qur’an, dan injil.
b.
Ungkapan sesuatu untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang
utama, dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan cermat dan teliti
disebut hakim.
c.
Alhakim, yaitu orang yang cermat dalam segala urusan, atau orang
yang bijak, yakni orang yang telah tertimpa berbagai pengalaman.
d.
Alhakam atau alhakim, yaitu penguasa dan hakim yang menghukumi dan
memperbaiki sesuatu.
e.
Alhikmah, yaitu objek kebenaran (alhaq) yang didapat melalui ilmu
dan akal.
f.
Mencegah perbuatan bodoh, membuat sesuatu menjadi baik dan mencegah
sesuatu jangan sampai meleset dari yang dikehendaki.
g.
Mencegah orang dari perbuatan tercela.
h.
Mencegah kezholiman.
2)
Pengertian hikmah menurut para pakar filsafat al-Qur’an
Para
pakar filsafat al-Qur’an sebagai para pakar filsafat dakwah telah merumuskan
pengertian hikmah ini tidak kurang dari 25 pengertian, diantaranya:
a)
Validitas dalam perkatan dan perbuatan.
b)
Mengetahui yang benar dan mengamalkannya
c)
Meletakkan sesuatu pada tempatnya
d)
Menjawab segala sesuatu dengan tepat dan cepat
e)
Memperbaiki perkataan dan perbuatan
f)
Tepat dalam perkataan dan perbuatan serta meletakkan sesuatu pada
tempatnya.
g)
Takut kepada Allah SWT, mengamalkan ilmu, dan wara dalam agama
h)
Kenabian mengandung hikmah, karena nabi diberi hikmah, selalu dalam
perkataan, keyakinan, dan bahkan dalam semua persoalan.
i)
Perkataan tegas dan benar yang dapat membedakan yang hak dan batil.
Dari
pengertian hikmah menurut pakar kebahasaan dan pakar al-Qur’an tersebut,
filsafat dakwah dapat dirumuskan sebagai “ketepatan perkataan, perbuatan, dan
keyakinan serta meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dalam mendakwahi
manusia menuju jalan Allah.”[6]
Pengertian
filsafat dakwah berdasarkan makna filsafat sebagai kegiatan berpikir sesuai
dengan hukum berpikir, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan menyeluruh tentang
dakwah islam sebagai sebuah sistem aktualisasi ajaran islam di sepanjang jalan.
2)
Aktivitas pikiran yang teratur, selaras, dan terpadu dalam
mencandra hakekat dakwah islam pada tataran konsep dan tataran realitas.
3)
Pengetahuan murni tentang proses internalisasi, transmisi,
transformasi, dan difusi islam di sepanjang zaman.
4)
Analisis logis, radikal, objektif, dan proforsional dalam membahas
term-term dakwah islam baik dari sisi teoritis maupun praktis.
Tujuan filsafat
dakwah menurut Drs. Syukriadi Sambas, M. Si dalam bukunya filsafat dakwah
halaman 8 adalah sebagai berikut:
1)
Memberikan landasan dan sekaligus menggerakkan proses dakwah islam
yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah secara objektif-proforsional.
2)
Melakukan kritik dan koreksi proses dakwah islam dan sekaligus
mengevaluasinya.
3)
Menegakkan kebenaran dan keadilan di atas dasar taihudullah dan
tauhid risalah.
4)
Mensyukuri nikmat akal dengan menerangkannya sesuai fungsi
peruntukkannya.
5)
Upaya penyempurnaan jiwa manusia baik dari sudut teoritis maupun
praktis.
Tujuan
filsafat dakwah adalah dapat meberikan pemahaman yang bersifat universal
tentang suatu unit ajaran islam secara mendalam, mendasar dan fradikal sampai
keakar-akrnya, sehingga akhirnya dapat membawa kepada kebenaran yang hakiki,
kebenaran hakiki tersebut terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai
seorang islam. Lebih jauh bertujuan memberikan kepuasan kepada sebahagian jiwa
yang amat berharga juga mengantarkan seorang sampai kepada keprcayaan keagamaan
yang benar, yang kalausebelumnya hanya diterima secara domatis dan
absolute.maka pada akhirnya bukan hanya mitologis semata, tetapi juga diterima
malaui kerangka fikirin yang rasional juaga akan memberi artinya penting dalam
menyadari otoritas dirinya sebagai makhluk yang berdimensi dalam memahami diri.
Agar
akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, al-quran meletakan
kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal.[7]
Antara lain:
1)
Tidak melampaui batas, dalam realitas yang dihadapi akal manusia
terdapat persoalan yang tidak bisa dipecahkan diluar jangkauannya, dan bahkan
bukan wewenamgnya. Persoalan-persoalan itu hanya dapat dipahami secara hakiki
melalui pernyataan wahyu al-Quran. (Q.S. 6:59 dan Q.S. 31:34).
2)
Membuat pikirandan penetapan (al-taqdir wa al-taqrir). Sebelum
memutuskan suatu keputusan, terlebih dahulu dilakukan penetapan dan perkiraan
tentang persoalan yang dipikirkan dengan tekun dan teliti, tidak tergesa-gesa.
(Q.S. 49:6 dan Q.S. 75:16).
3)
Membatasi persoalan sebelum melakukan penelitian. Akal tidak akan
mampu memikirkan sesuatu diliar jangkauannya tanpa ada pembatasan. Begitu juga
dalam kajian ilmiah.kajiannya dibatasi oleh objek kajian yang telah diketahui.
Membicarakan suatu objek yang tidak diketahui bukanlah kajian ilmiah. (Q.S.
17:36)
4)
Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran. Jika suatu kegiatan
ilmiah disertai dengan sikap seperti ini, kebenaran ilmiah yang hakikitidak
akan teraih, bahkan akan merusak ukhuwah islamiyah. (Q.S. 6:7)
5)
Melakukan chek dan recheck. Dalam mencari kebenaran hakiki perlu
dilakukan penelitian dan pengkajian ulang terhadap objek pikir secara cermat
dan teliti.
6)
Berpegang teguh pada kebenaran hakiki. Akal mesti tunduk kepada
kebenaranmutlak yang ditopang oleh dalil-dalil yang pasti, untuk kemudian
mengimaninya dengan menyingkirkan kergu-raguan. (Q.S. 49:15 dan Q.S. 2:147)
7)
Menjauhkan diri dari tipu daya. Kepalsuan dan fatamorgana yang
lahir dari dorongan hawa nafsu adalah sesuatu yang akan memperdayakan dan
menipu kejernihan bepikir.
Berkenaan
dengan model pemikiran filosofis dakwah, menurut Amrullah Ahmad (1996),
berangkat dari hakikat ilmu dakwah, yaitu ilmu membangunkan dan mengembalikan
manusia pada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia serta meneguhkan fungsi
khilafah manusia menurut al-Quran dan sunnah. Selain itu, ia menegaskan bahwa
ilmu dakwah ialah ilmu perjuangan bagi umat islam dan ilmu rekayasa masa depan
umat dan perdaban islam.
Metode
pemikiran filsafat dakwah dibangun dengan berdasarkan pada konsep Tauhidullah.
Dari konsep ini dibangun aksiologi, epistemology, dan metodologi keilmuan
dakwah yang mengacu pada hukum-hukum berpikir dari ayat Qur’aniyah dan
hukum-hukum yang terdapat dalam ayat kauniyah.[8] Mengacu pada pemikiran filosofis yang
didasarkan pada konsep tauhid tersebut, Amrullah Ahmad mengajukan lima macam
metode keilmuan dakwah:
1)
Pendekatan analisis system dakwah,
2)
Metode historis,
3)
Metode refektif,
4)
Metode riset dakwah partisipatif, dan
5)
Riset kecenderungan gerakan dakwah.
b. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Dakwah Islam
a)
Periode Nubuat
Kegiatan
dakwah pertama dari para nabi dan tujuan mereka yang terbesar di setiap zaman
dalam setiap lingkungan adalah menegakan keyakinan Tauhidullah dan beribadah
hanya kepada-Nya yang menjadi tugas fitri kemanusiaan sebagai khalifah dan Abdi
Allah dimuka bumi. Dan disampaikan pula pesan utama tentang perjalanan hidup
manusia, yaitu al-mabda (asal kehadiran manusia), al-wasath (keberadaan manusia
di alam kesadaran duniawi), al-ma’ad (tempat kembali mempertanggungjawabkan
tugas fitri kemanusiaan).
Adapun
tugas-tugas kenabian dapat disimpulkan dalam tiga perkara. Pertama, seruan
untuk beriman kepada Allah dan ke-Esaan-Nya. Kedua, iman kepada hari akhir dan
balasan terhadap amal-amal pada hari itu. Ketiga, penjelasan hukum-hukum yang
di dalamnya terdapat kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Berkenaan
dengan missi para nabi dipusatkan dan diarahkan kepada pemberantasan berhala di
masa-masa mereka, yang tercermin dalam bentuk penyembahan patung-patung,
berhala-berhala dan orang-orang suci, baik orang yang masih hidup maupun sudah
mati.
Seandainya
akal manusia bertindak sendirian dalam memahami kebenaran-kebenaran ini, maka
tidak akan dapat menjangkaunya, khususnya dalam perkara-perkara ghaib yang
tidak bisa dijangkau oleh akal manusia dan pengetahuan tanpa wahyu yang
disampaikan Allah kepada nabi-nabi.
Para
filosof Yunani dan lainnya telah berusaha mempelajari ke-Tuhana-an, maka mereka
pun mengemukakan pendapat-pendapat yang saling bertentangan sebagaimana para
ulama di zaman ini berbeda pendapat dalam menafsirkan ke-Tuhana-an. Sementara
para nabi datang membawa kepastian dalam penafsiran dan penentuan kekuatan
Ilahi dengan pendapat yang menentramkan hati.
Dari
25 nabi yang disebutkan dalam Al-Quran ada yang diberi al-Kitab, Shuhuf
(lembaran wahyu), dan Hikmah. Secara eksplisit nabi yang diberi hikmah selain
al-kitab adalah nabi Daud a.s, Sulaeman a.s, Isa a.s dan nabi Muhammad saw.
selain para nabi, ada seorang hamba Allah swt yang secara eksplisit disebutkan
dalam al-Quran oleh Allah SWT diberi hikmah, yaitu Luqman. Dan nama Luqman ini
menjadi nama salah satu surah dalam mushhaf al-Quran yaitu surah Luqman surah
ke 31. Dan dari surah Luqman inilah dapat dibangun secara spesifik struktur
filsafat dakwah.[9]
Luqman
al-Hakim hidup sezaman dengan nabi Daud a.s yang juga diberi hikmah oleh Allah
swt. Luqman ini adalah bapak filsafat selain nabi, sebagai filosof pertama
Yunani, yaitu Empedockles berguru kepada Luqman kemudian menyusul Pytagoras
murid Empedockles, setelah itu secara berturut-turut menyusul Socrates, Plato,
dan Aristoteles. Kelima filosof ini hidup dalam rentangan kurun waktu antara
nabi Daud a.s hingga sebelum nabi Isa a.s. dan salah seorang murid Aristoteles
adalah Alexander (Iskandar Zulkarnaen), ia belajar hikmah kepada Aristoteles
selama 20 tahun.
Maka
jalur pemikiran hikmah (kefilsafatan) para filosof yang bukan nabi yaitu Luqman
dan generasi yang berikutnya, maka menisbahkannya pemikiran filosofis itu
kepada Hermes, dan rentangan waktu antara Hermes hingga awal hijrah nabi
terakhir adalah kurang lebih 3725 tahun (perhitungan menurut Abu
Ma’syar).
b)
Periode al-Khulafa al-Rasyidin
Estapeta
aktivitas dakwah dalam tataran teoritis dan praktis, sepeninggal rasul terakhir
Muhammad saw dilanjutkan oleh pelanjutnya, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun (para
pelanjut yang memperoleh dan melaksanakan Islam ingga bimbingan kehidupan).
Pemikiran dakwah yang berkembang pada periode ini adalah metode naql dan aql
secara seimbang orientasi utama pengembangan dakwah berupa futuhat yaitu
konsolidasi dan ekspansi Islam di semenanjung Arabia dan sekitarnya. Produk
pemikiran dan aktivitas dakwah al-Khulafa al-Rasyidun ini disebut atsar shahabat,
yang memuat khazanah Islam. Merek adalah Abu Bakar (632-634 M), Umar Ibn
Khathab (634-644 M), Usman Ibn Affan (644-655 M), dan Ali Ibn Abi Thalib
(656-661 M).
Perlu
diketahui, bahwa futuhat adalah proses menghadirkan dan mendatangkan Islam ke
daerah-daerah yang dituju dengan tidak memaksa rakyat (mad’u) untuk merubah
agamanya, mereka menerima dan memeluk Islam bukan karena paksaan tetapi atas
dasar pilihan dan kebebasan kehendaknya setelah mempertimbangkan secara
obyektif-proposional terlebih dahulu.[10]
Adapun
hikmah praktis telah diperoleh para al-Khulafa al-Rasyidun melalui prilaku,
banyak mengamalkan ilmu dengan jujur dan ikhlas, istiqamah, pengalaman dan
kemahiran, strategi yang bijak, dan memahami sendi-sendi dakwah mereka
memandang penting penggunaan akal dalam kehidupan, misalnya, berikut ini
sebagai contoh pandangan khalifah Ali r.a dalam syair: “bila Tuhan
menyempurnakan akal seseorang, sempurnalah akhlak dan kepakaran orang itu.
Pemberian Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akalnya, karena tidak
ada kebaikan yang sebaik akal. Dengan akal, seorang pemuda dapat hidup eksis di
tengah manusia, karena ilmu dan pengamatannya senantiasa rasional.
c)
Periode Tabi’in
Bicara
tentang tabi’in, Tabi’in adalah mereka yang hidup sesudah generasi sahabat
nabi. Mereka adalah orang-orang yang mampu bersikap bijak dalam menyalurkan
kewajiban dakwahnya. Tokoh pemikir dakwah (rijal al-dakwah) pada periode ini
diantaranya adalah Said bin Musayab, Hasan bin Yaser al-Bashri, Umar bin Abd
al-Aziz dan Abu Hanifah. Umar bin Abd al-Aziz adalah seorang khalifah pada
zaman Daulah Bani Umayah.
Adapun
hikmah praktis yang dikembangkan oleh keempat tokoh pada periode ini adalah
memulai dengan memperbaiki diri sendiri, memperbaiki keluarga, memperbaiki
umat, mengembangkan dakwah dengan surat, menanamkan perasaan takut kepada
Allah, berpegang teguh pada agama Allah, dan memperhatikan umat non muslimin.
Pada
zaman ini, metode pemikiran dakwah lebih banyak menggunakan penalaran metode
muhaditsin, yang lebih banyak berorientasi pada naql ketimbang ‘Aql sebagaimana
digunakan dalam penalaran metode mutakalimin.
d)
Periode Tabi al-Tabi’in
Sebutan
Tabii al-tabiin adalah ditujukan bagi generasi yang hidup setelah tabiin yang
mendapat nilai keutamaan. Tokoh utama pada periode ini yang tergolong rijal
al-dakwah Imam bin Anas, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Periode a dan
b dapat dikategorikan pula sebagai periode Salaf, dan setelah periode salaf
disebut periode Khalaf. Kajiannya lebih berorientasi pada syariat sebagai pesan
dakwah.[11]
Adapun
hikmah praktis yang dikembangkan pada periode ini tidak jauh berbeda dengan
hikmah praktis (2) bagian (a) yang telah dikemukakan. Namun dapat ditambahkan
bahwa rijal al-dakwah pada periode ini menonjolkan sikap dan perilaku hikmah,
yaitu berpikir sebelum menjawab dalam berdialog, menolak sesuatu secara bijak
dan bertindak tegas dalam hal kebenaran.
Sedangkan
hikmah teoritis yang dikembangkan pada periode tabii-al tabiin adalah metode
penalaran mutakalimin dengan tidak mengabaikan metode penalaran muhaditsin.
e)
Pasca Periode Tabi’I al-Tabi’in
Pada
periode ini dapat dikategorikan sebagai periode khalaf, suatu periode dengan
300 tahun setelah zaman nubuwah. Hikmah teoritis dan hikmah praktis
dikembangkan dengan metode penalaran yang pernah berkembang sebelumnya dengan
ditandai munculnya berbagai corak pemikiran di dalam berbagai bidang kajian
keislaman sebagai hasil dari akumulasi interaksi antarbudaya dalam perjalanan
aktivitas dakwah sebagai aktualisasi dari hikmah (pemikiran filosofis dakwah).[12]
Dalam
tataran hikmah teoritis dari segi metodologi pada periode khalaf ini dapat
digolongkan kepada: Pertama, kelompok pengguna penalaran Isyraqi
(iluminasionisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Plato dengan tidak
mengabaikan metode naql. Kedua, kelompok pengguna penalaran masya’I
(peripatetisisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Aristoteles dengan
tidak mengabaikan metode naql. Rijal al-dakwah pendukung metode sebagaimana
disebutkan diatas adalah kelompok Mu’tazilah, Asyariyah dan Syi’ah.
Mereka telah mengkaji tentang konsep teologi sebagai pesan dakwah, konsep
manusia dan konsep alam.
Dari
kalangan sufi yang menggunakan metode irfan, pemikiran mereka lebih menekankan pada
kontek dakwah nafsyiyah (internalisasi ajaran Islam pda tingkat intra
individu), antar pribadi dan kelompok di atas dasar cinta kepada Tuhan dengan
tidak mengabaikan dasar syariat yang lebih mengatur aspek perilaku lahiriyah.
f)
Periode Modern
Periode
modern merupakan era kebangkitan Islam yang ditandai adanya tokoh pejuang Islam
berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power terhadap
penjajahan Barat yang menguasai dunia Islam. Pada era ini diawal gerakan
pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Abd
al-Wahab dan para pendukungnya sejak tahun 1801 M hingga sekarang.
g)
Aktivitas Pemikiran Dakwah Sebagai Aktivitas Kebudayaan dan
Peradaban Islam
Dalam
hal ini, penelusuran, pelacakan, dan pengkajian perkembangan pemikiran dakwah
dapat pula dipandang sebagai aktivitas kebudayan dan peradaban Islam dengan
menggunakan alur berpikir kesejarahan. Dengan demikian, maka perkembangannya
dapat distrukturkan ke dalam periodesasi.[13]
Periode
klasik merupakan masa kemajuan Islam I, yaitu pada tahun 650-1000 masehi. Pada
tahun 1000-1250 masehi merupakan masa disintegrasi. Pada periode berikutnya,
yaitu periode pertenganhan merupakan masa kemunduran I (125-1500 M). yang
selanjutnya adalah periode modern, yaitu pada tahun 1800 sampai sekarang. Pada
tiga periode ini, pada hakekatnya kegiatan pemikiran dan aktivitas dakwah
berlangsung, sebab jika kegiatan dakwah itu berhenti, maka akan berhenti pula
perkembangan kehidupan umat Islam di alam jagat raya ini.
2.
Filsafat Barat
a.
Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah sebutan yang digunakan untuk
pemikiran-pemikiran filsafat dalam dunia Barat atau Occidental. Permulaan dari sebutan Filsafat Barat ini dari keinginan untuk mengarah
kepada pemikiran atau falsafah peradaban Barat.[14]
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas
di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi
falsafi orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat
Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes,Immanuel Kant, Georg
Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan
Jean-Paul Sartre.[15]
Tujuan Filsafat Barat
yaitu menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan
akal sampai kedalamannya, sampai keradikal dan totalitas.
Kata Filsafat berasal dari bahasa
yunani, namun bukan saja nama filsafat berasal dari bahasa Yunani, melainkan
juga isi konsep yang ditunjukkan dengan nama ini merupakan suatu penemuan
Yunani yang khas. Pada abad ke-6 sebelum Masehi telah terjadi berbagai
peristiwa menakjubkan dan ajaib di Yunani, yang dalam istilah kerennya adalah
“the Greek miracle” (bahasa Inggris). Timbulnya filsafat di Yunani pada saat
itu memang biasa dikatakan sebagai suatu peristiwa ajaib, sebab tidak mungkin
memberi alasan alasan yang akan menerangkan kejadian itu secara memuaskan.
Namun demikian ada beberapa factor yang sudah mendahului dan seakan akan
mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. Adapun factor factor sebagai
penyebab lahirnya filsafat adalah sebagai berikut:
Pertama, adalah bahwa bangsa Yunani
seperti juga bangsa bangsa sekitarnya, terdapat adanya mitologi yang kaya dan
luas. Mitologi itulah yang merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah
memberi jawaban atas petanyaan pertanyaan yang timbuh dalam hati manusia.
Misalnya, dari manakah dunia ini ?, dari manakah peristiwa peristiwa yang
terjadi di dalam alam ini?, apa sebab terjadi pelangi ? dan lain sebagainya. Melalui mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam
semesta dan tentang kejadian kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite macam
pertama yang mencari keterangan tentang asal usul alam semesta, lalu disebut
dengan istilah mite kosmogonis,
sedangkan mite jenis kedua yang mencari keterangan tentang asal usul serta
sifat kejadian kejadian dalam alam semesta disebut mite kosmologis.
Bagi bangsa Yunani, bahwa dengan mengadakan beberapa
usaha untuk menyusun mite-mite yang diceriterakan oleh rakyat supaya menjadi
sistematis. Dengan demikian, maka usaha mensistematiskan mite-mite itu telah
tampak sifat rasionalnya . Karena dengan mencari dan mensistematiskan itu,
mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu sama
lain dan menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan dengan mite lain. Di
sini mereka sudah tampak mulai berpikir secara rasional.
Kedua, adalah
adanya kesusasteraan Yunani, di sini tampak sebagai persiapan yang mempengaruhi
timbulnya filsafat, asal saja dipakainya kata itu dalam arti seluas luasnya,
sehingga meliputi juga teka-teki, dongeng-dongeng, dan lain seagainya. Misal
karya puisi Homeros yang terdiri dari dua puisi, yaitu Ilias dan Odyssea yang
dibuat pada tahun 850 s.M. dan puisi itu mempunyai kedudukan istimewa dalam
kesusastraan pada waktu itu. Syair-syair dalam puisi tersebut lama digunakan,
karena dapat dipakai sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani.
Apabila dilihat peranan syair-syair puisi buatan Homeros dalam kebudayaan
Yunani kuno, dapat dibandingkan dengan peranan wayang dalam kebudayaan Jawa pada jaman dahulu. Oleh
sebab itu puisi buatan Homeros sangat digemari oleh rakyat Yunani untuk mengisi
waktu terluang dan juga mempunyai nilai edukatif. Bahkan para filsuf Yunani pun
sering kali menyebut nama Homeros, missal Xenophanes, Plato, dan Aristoteles
yang menyebut-nyebutnya.
Ketiga, adalah adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang pada
waktu itu sudah muncul di Timur Kuno. Ilmu pengetahuan yang muncul di Timur
Kuno itu adalah ilmu ukur dan ilmu hitung dari Mesir. Oleh sebab itu, bangsa
Yunani pun merasa berhutang budi kepada bangsa lain, karena menerima beberapa unsure
ilmu pengetahuan dari mereka. Namun andil dari bangsa bangsa lain dalam
perkembangan ilmu pengetahuan Yunani juga tidak dapat dilebih-lebihkan, karena
bangsa Yunani telah mengolah unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut yang tidak
diduga-duga oleh bangsa Mesir dan Babylonia. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut
oleh bangsa Yunani dijadikan suatu corak yang sungguh-sungguh ilmiah. Hal ini
dapat dilihat seperti diceriterakan oleh seorang sejarawan Yunani yang hidup
sekitar abad ke-5 s. M, yaitu Herodotos yang menceriterakan, bahwa ilmu ukur
dan ilmu hitung yang berkembang di Mesir itu, karena di Mesir setiap tahun
dirasakan keperluanya, yaitu untuk mengukur kembali tanah-tanah setelah terjadi
banjir setiap tahun di sungai Nil. Namun pada orang Yunani ilmu ukur yang
disebut “geometria” (artinya:
pengukuran tanah) tidak dijalankanya dalam suatu konteks praktis seperti yang
dipakai bangsa Mesir, melainkan mulai mempelajari ilmu pengetahuan tersebut
dengan tidak mencari untung (Inggris: disinterestedly).
Di negeri Yunani ilmu pasti, astronomi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan
demi keuntungan yang letaknya di luar ilmu pengetahuan itu.
b.
Perkembangan Filsafat Barat Modern
Akhir abad ke 16 Eropa
memasuki abad sangat menentukan dalam dunia perkembangan filsafat, sejak
Descartes, Spinoza dan Leibniz mencoba untuk menyusun suatu sistem filsafat
dengan dunia yang berpikir dalam pusatnya, yaitu suatu sistem berpikir
rasional. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal
(reason) adalah alat terpenting dalam
memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme pada dasarnya ada
dua macam, yaitu dalam bidang agama dan filsafat, dalam agama rasionalisme
adalah lawan autoritas.[16] Sementara dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme. Rasionalisme
dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama,
rasionalisme dalam filsafat berguna sebagai teori pengetahuan.
Sejarah rasionalisme
pada esensialnya sudah ada sejak Thales ketika merumuskan filsafatnya, kemudian
pada kaum sofis dalam melawan filsafat Socrates, Plato dan Aristoteles, dan
beberapa filsuf sesudahnya. Dalam abad modern tokoh utama rasionalisme adalah
Rene Descartes,[17]
sebab Descarteslah orang yang membangun fondasi filsafat jauh berbeda
bahkan berlawanan dengan fondasi filsafat abad pertengahan.[18] Dasar filosofis utama Descartes adalah bahwa perkembangan filsafat sangat
lambat bila dibandingkandengan laju perkembangan filsafat pada zaman
sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambatnya perkembangan filsafat. Descartes ingin melepaskan dari dominasi
gereja dan mengembalikan pada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang
berbasis pada akal. Dengan demikian corak utama filsafat modern yang dimaksud
di sini adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani kuno.
Rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes, kemudian dikembangkan lagi oleh
Spinoza, Leibniz dan Pascal.
Pada pertengahan abad
ke 20 ilmu pengetahuan positif berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Salah
satu metode kritis yang berkembang pada waktu itu yaitu munculnya filsafat
fenomenologi sebagai sumber berpikir kritis. Fenomenologi adalah metode yang
diperkembangkan oleh Edmund Husserl berdasarkan ide-ide gurunya Franz Brentano.
Menurut Husserl bahwa objek harus diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu
dengan cara deskripsi fenomenologi yang didukung oleh metode deduktif,
tujuannya adalah untuk melihat hakikat gejala-gejala secara intuitif. Sedangkan
metode deduktif mengkhayalkan fenomena berbeda, sehingga akan terlihat batas
invariable dalam situasi yang berbeda.
Filsafat untuk abad sekarang bukan lagi barang baru dan
momok yang harus ditakutkan oleh banyak orang, tetapi yang menjadi kendala
dalam menyampaikan maksud-maksud filsafat kepada masyarakat secara luas yaitu
bahasa. Filsuf dalam kondisi seperti itu harus menaruh perhatian besar guna
menjelaskan kaidah-kaidah bahasa dalam filsafat agar mudah dipahami oleh
masyarakat. Perhatian terhadap bahasa tersebut awalnya dilakukan inilah muncul
metode analisis bahasa. Metode analisis bahasa yang ditampilkan oleh
Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Tugas
filsafat bukan saja membentuk pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan
memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap logika bahasa.[19]
Filsafat dengan
demikian sejak kemunculanya sampai sekarang telah memberikan warna menarik,
terutama dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan sambil memberikan
jawaban-jawaban kepada kita sebagai manusia yang hidup pada abad modern ini.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka kita dapat
menimpulkan bahwa, antara filsafat dakwah dan filsafat barat itu tidaklah sama,
keduannya jauh berbeda. Ini merupakan dua buah disiplin ilmu yang berbeda dan memiliki
pijakan yang berbeda.
Filsafat barat adalah hasil pemikiran-pemikiran
filosof barat, yang mana tujuan dari
filsafat barat ini adalah menyelidiki segala
sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai kedalamannya,
sampai keradikal dan totalitas. Jadi disini kita melihat bahwa didalam filsafat
barat tidak ada batasan dalam halnya mempergunakan akal, tidak sama halnya
dengan filsafat dakwah.
Sedangkan,
filsafat dakwah ini adalah hasil pemikiran para filsuf Islam. Dan dalam filsafat dakwah sudah sangat jelas bahwasanya al-Qur’an memberi
batasan bagi akal, agar akal
terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, al-Quran meletakan
kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal, diantaranya; tidak
melampaui batas, membuat pikiran dan penetapan (al-taqdir wa al-taqrir, membatasi
persoalan sebelum melakukan penelitian, tidak sombong dan tidak menentang
kebenaran, melakukan chek dan recheck, berpegang teguh pada kebenaran hakiki, menjauhkan
diri dari tipu daya. Jadi koridornya itu adalah al-Qur’an. Dan tujuannya adalah
untuk memberikan pemahaman secara mendalam tentang suatu unti ajaran Islam, dan
hasil yang diinginkan adalah orang yang didakwahi bisa menerima akan sebuah
kebeneran dan patuh terhadap ajaran Islam, serta bertambah kuat imannya kepada
Allah Sang pencipta alam.
Daftar Pustaka
A.Hanafi. 1981. Ikhtisar Sejarah Filsafat
Barat. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat, dan Agama.
Bandung: PT Bina Ilmu
Bakker, Anton. 1986. Metode-metode Filsafat.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Machfoed, Ki Musa A. 2004. Filsafat Dakwah.
Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mustansyir, Rizal. 2001. Filsafat Analitik,
Sejarah Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Poerwanta. 1988. Seluk-Seluk Filsafat Islam.
Bandung: PT Rosda.
Sambas,Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal
Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
[2]Endang
Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Bandung: PT Bina Ilmu, 1979),
hal 80.
[5]Ki Musa Machfoeld A, Filsafat Dakwah, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 2004), hal xv.
[6]
Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah, (Bandung:
KP HADID, 1999), hal 7.
[7]Ibid,
hal 20.
[8]Ibid,
hal 27.
[9]Ibid,
hal 31.
[10]Ibid,
hal 34
[11]Ibid,
hal 35.
[12]Ibid,
hal 36.
[13]Ibid,
hal 38.
[14]Robert Audi.1995.The Cambridge Dictionary Of
Philosophy.Cambridge University Press:United Kingdom.
[15]Surajiyo,
Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm. 153
[16]A. Hanafi, Ihktisar sejarah filsafat barat,
(Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), Hlm. 55
[17]Anton Bakker, Metode-metode filsafat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986), Hlm. 68
[18]Lihat, Ahmad Tafsir. Hlm. 129
[19]Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, sejarah,
perkembangan, dan peranan para tokohnya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001),
hlm. 7-8
No comments:
Post a Comment