Thursday, February 25, 2016

makalah: filsafat sains

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Hubungan antara agama dan sains bisa di rumut pada pemberontakan pemikiran yang dilakukan oleh para penemu di bidang sains terhadap kekuasaan gereja pada abad yang disebut sebagai modern. Pertentangan pertama di lakukan oleh Galileo dengan membalik ide gereja bahwa bumi sebagai pusat yang diganti dengan ide bahwa mataharilah sebagai pusat.
Dalam konteks hubungan antara sains dan agama dan problemnya terhadap manusia modern nama Fritjof Capra mempunyai peran penting. Capra dalam konteks hubungan antara sains dan agama adalah golongan dan ilmuan yang mencoba memberikan jawaban atas problem modernitas yang ciri utamanya adalah mistime timur.
Hubungan antara sains dan agama terjadi ketika ada perubahan paradigma dalam sains. Pardigma dalam sains telah berubah seiring dengan ditemukannya teori relativitas dan teori kuantum.
1.2 Rumusan Masalah
     1. Prawacana
     2. Lima Tipologi Hubungan antara Sains dan Agama
     3.
Epilog (perjumpaan Sains dan Agama)
     4. Konklusi
1.3 Tujuan dan Manfaat
            Untuk memberikan pengetahuan kepada kita tentang perjumpaan antara sains dan agama, mengambil hikmah setiap kejadian untuk menambah ketakwaan kepada Allah SWT.



PEMBAHASAN
2.1   Prawacana
“The great initial success of quantum theory cannot covert me, to believe in that fundamental game of dice ….. , I am absolutely convinced, that one will eventually arrive at a theory in which the objects connected by laws are not probabilities but conceived facts”(Albert Eitein)[1]
            “To understand the whole, it is necessary to understand the parts. To understand the parts, it is necessary to understand the whole. Such is the circle of understanding”(Ken Wilber)[2]
Apakah Sains telah menyebabkan Agama tidak masuk akal lagi secara intelektual? Apakah Sains menyingkirkan adanya Tuhan yang personal? Bukankah teori evolusi menyebabkan seluruh ide mengenai penyelenggaraan Ilahi tidak masuk akal lagi? Apakah kita masih harus percaya bahwa semesta ini diciptakan oleh Tuhan? Atau bahwa kita berada disini karena benar-benar dikehendaki oleh sesuatu atau seseorang? Apakah tidak mungkin bahwa semua pola yang rumit dalam alam semesta ini hanyalah hasil dari suatu peluang yang serba kebetulan? Dalam zaman yang ditandai dengan kemajuan sains ini, dapatkah kita secara jujur percaya bahwa alam semesta ini memang mempunyai arah atau tujuan tertentu?[3] Lalu bagaimanakah hubungan antara sains dan agama? Pakah keduanya sibuk berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kecendrungan masing-masing? Apakah keduanya saling mengonfirmasi terhadap yang lainnya? Apakah keduanya saling bertentengan dan bermusuhan? Adapun keduanya dapat saling melengkapi dan berbagi? Atau keduanya bias saling melakukan peleburan dan integrasi?
            Semua pertanyaan-pertanyaan ini, alam tilikan john F. Haught seorang Guru Teologi Universitas Georgetown Amerika Serikat, merupakan persoalan sains dan agama. Dalam perspektif Haught, perbincangan  mengenai hubungan antara agama dan sains terklasifikasikan dalam empat sketsa besar. Pertama, pendekatan konflik, yakni suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukkan. Kedua, pendekatan kontras, yakni suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh karena agama dan sains member tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda.
            Ketiga, pendekatan kontak, yakni suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya “penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religious dan teologis. Keempat, pendekatan konfirmasi, yaitu suati perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting; perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, memdukung, dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.
            Senafas dengan Haught, Ian G. Barbour seorang Guru Besar Fisika dan Teologi di Carleton College Amerika Serikat, memetakan hubungan antara agama dan sains dalam empat tipologi: konflik, independensi, dialog, dan integrasi.[4] Tipologi pendekatan  Barbour, dari yang pertama sampai yang ketiga: konflik, independensi, dan dialog dapat disetarakan dengan tiga pendekatan Haught yaitu konflik, kontras, dan kontak. Namun mengenai pendekatan keempat, antara pendekatan konfirmasi dengan integrasi, tampaknya tidak dapat disamakan secara ketat. Meskipun eksplorasi Haught tentang konfirmasi dengan penjelasan Barbour tentang integrasi sama-sama menginginkan keterkaitan, bahkan peleburan antara agama dan sains, namun stressing point keduannya cukup berbeda.
            Dengan alasan inilah, tulisan ini mencoba mengembangkan pendekatan Haught dan Barbour, sehingga menjadi lima tipologi pendekatan. Dan statement Einstein dan ken Wilber di awal tulisan ini menjadi entry point mengenai pendekatan dialog, konfirmasi, dan integrasi. Jika statement Einstein bisa dikatakan mendambakan adanya dialog yang saling mengisi antara sains dan agama, maka statement Wilber melangkah lebih jauh bahwa untuk pemahaman yang lebih holistic dan integral, agama dan sains harus bisa saling mengisi  bahkan integrai diantara keduannya. Sebab sebagai insan yang beragama dan memiliki keyakinan religious, secara intrinsic kita merindukan sebuah paradigm yang holistic, menyatu, saling terhubung, dan tidak terpisahkan antara dimensi profane dan sacral, dimensi temporal dan immortal, dimensi fisikal dan spiritual, serta dimensi duniawi dan ukhrawi.

2.2  Lima Tipologi Hubungan antara Agama dan Sains
Di sini akan diuraikan lima tipologi pendekatan yang cukup berbeda satu sama lain sehingga bisa mengantarkan kita memahami dan mendalami argumentasi kelima tipologi yang mempunyai karakteristik spesifik masing-masing. Pertama, pendekatan konflik. Banyak pemikir sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Menurut mereka, kalau anda seorang ilmuan, sulitlah membayangkan bagaimana anda secara jujur bisa serentak saleh beriman, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya akan Tuhan. Alasan utama mereka menarik kesimpulan ini ialah bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sain bisa melakukan hal itu. Agama mencoba bersikap diam-diam dan tidak mau memeri petunjuk konkret tentang keberadaan Tuhan. Dipihak lain, sains mau menguju semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman. Kaum skeptic (yakni orang-orang yang menolak agama atas nama sains) mengklaim bahwa agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara bisa memuaskan pihak yang netral. Kerena itu, mesti ada suatu “pertentangan” antara cara-cara pemahaman ilmiah dan pemahaman keagamaan.[5] 
Contoh popular tentang pandangan konflik bisa dilihat pada sejarah tragis Galileo dan Darwin. Galileo mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari (heliosentris), dan menolak teori Ptalemaeus bahwa matahari dan planet-planet berputar mengelilingi bumi (geosentris). Tantangan langsung Galileo terhadap otoritas gereja ketika ia menegaskan bahwa masyarakat terus menerima tafsiran harfiah atas Alkitab kecuali jika ada teori sains yang terbukti secara tak terbantahkan. Sejumlah kardinal sebenarnya menaruh simpati terhadap pandangan Galileo, tetapi paus dan sekelompok kardinal yang berpengaruh secara politis menentangnya. Akhirnya Galileo dikutuk karena dianggap mempertanyakan literalisme (tafsiran harfiah) biblika, dan itu diartikan sebagai menentang gereja.[6]
Selanjutnya konsep evolusi Darwin yang menganggap manusia hanya sebagai bagian dari alam serta tidak ada garis pemisah antara kehidupan manusia dan binatang, menciptakan konflik karena menggugat kemulian martabat manusia. Darwin dan para pengikutnya menekankan kesamaan antara perilaku binatang dan manusia meskipun bebrapa biolog menekankan beberpa keistimewaan budaya dan bahasa manusia. Di Inggris, pada zaman Victoria,  bebrapa orang memandang klaim bahwa “manusia berasal dari kera” sebagai bantahan atas nilai kemanusian. Gagasan “the survival of the fittes” (yang bertahan hidup adalah yang teunggul dan terkuat) melumpuhkan moralitas.[7]  
Begitu pula, teori evolusi menantang desain cerdas Illahi dalam alam semesta. Dalam alam semesta statis, fungsi kompleks organisme dan kehidupan yang harmonis memberikan pandangan yang persuasive dan argumentative akan adanya pendesain yang cerdas. Akan tetapi, Darwin mengajukan hipotesis bahwa adaptasi dapat dijelaskan secara memuaskan melalui proses variasi dan seleksi alam yang impersonal. Darwin percaya bahwa Tuhan telah mendesain proses evoluasi ini, tetapi tidak mendesain bentuk-bentuk struktur organisme secara satu per satu. Ia memang tidak percaya jika semesta terjadi secara kebetulan, namu ia juga tidak yakin bahwa semesta hasil karya Illahi.[8]
Tetapi masih ada hal yang lebih penting dari pertimbangan-pertimbangan historis-historis ini, yaitu kendala-kendala filosofis (khususnya epistemologis) yang diberikan oleh agama dan teologi terhadap kaum skeptic ilmiah. Masalah utama disini ialah bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan tampaknya tidak bisa diuji berdasarkan pengalaman. Rupanya, mereka mau mengecualikan diri dari ketatnya pengujian oleh public, padahal sains selalu menguji pemikiran-pemikiran melalui pengujian yang terbuka. Kalau penelitian empiric membuktikan bahwa sebuah hipotesis ilmiah itu ternyata keliru, sains dengan rela membuangnya dan mencoba cara lain dengan tetap patuh pada proses pengujian yang sama ketat.
Tetapi dapatkan anda melakukan hal yang sama dengan ajaran-ajaran agama? Bukankah mereka semua menghindari semua percobaan untuk membuktikan kebenaran mereka berdasarkan pengamatan? Atau kalau dirumuskan dengan acara lain menurut kaum skeptic, ajaran-ajaran agama itu “tidak dapat difalsifikasi”. Salah seorang filosof paling masyhur abad ke-20, Karl Popper mengemukakan bahwa sains sejati harus sungguh-sungguh berusaha mengajukan bukti yang bisa menunjukkan bahwa pemikiran-pemikirannya memang keliru. Maksudnya, berbagai macam klaim-klaim sains harus berani menjalankan proses falsifikasi itu.[9]
Kaum skeptic sering mengatakan bahwa gama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori ata “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Selain itu, agama terlalu bersandar pada imajinasi liar, sedangkan sains bertumpu pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah, dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak terlalu bergairah, dan objektif. Berbagai antithesis ini tampaknya semakin menambah petunjuk bukti bahwa antara sains dan agama terdapat suatu permusuhan timbale balik yang tidak dapat diatasi.[10] sebagian skeptic yang mengusung pandangan konflik di antaranya adalah Stephen W. Hawking dan Richrd Dawkins.[11]
Kedua, pendekatan kontras atau independensi. Di lain pihak,banyak ilmuan dan teolog tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut meraka masing-masing abash (valid) meskipun hanya dalam batas ruang lingkup penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolak ukur sains, dan juga tidak boleh sebaliknya, menilai sains dengan tolak ukur agama. Sebab pertanyaan yang di ajukan oleh masing-masing sangatlah berbeda dan isi jawaban-jawaban mereka pun sangat berbeda sehingga tidak ada gunanya sama sekali kalau kita membandingkan mereka satu sama lain.[12]
Jika agama dan sains sama-sama mencoba mengerjakan pekerjaan yang sama, mungkin mereka akan bertantangan. Tetapi mereka benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama. Kalau kita tetap menjaga mereka dalam wilayah yuridiksinya masing-masing, yaitu dengan mencegahnya jangan sampai melanggar tepal batas wilayah yang lain, di sana tidak akan pernah ada “masalah” yang sesungguhnya antara agama dan sains.[13]
Secara lebih spesifik, para pendukung pendekatan ini menekankan bahwa “permainan” yang dimainkan sains ialah menguji dunia natural secar empiris, sedangkan permainan agama ialah menggungkapkan makna terakhir yang melampaui dunia natural secara empiri, sedangkan permainan agama ialah menggungkan makna terakhir yang melamoaui dunia yang dikenal secara empiris. Sains memusatkan perhatian pada bagaimana segala sesuatu tejadi dialam semsta ini, sedangkan agama pada mengapa sesuatu itu ada (eksis) dan bukannya ketiadaan. Sains berurusan dengan sebab-sebab, sedangkan agama berurusan dengan makna. Sains berurusan dengan masalah-masalah yang dapat dipecahkan, sedangkan agama berurusan dengan misteri yang tak terpecahkan. Sains mencoba menjawab persoalan-persoalan menyangkut cara kerja alam, sedangkan agama berurusan dengan landasan terakhir dari alam. Sains memberi perhatian terhadap kebenaran particular, sedangkan agama tertarik untuk menjelaskan mengapa kita harus mencari kebenaran.[14]
Pada titik inilah, sekarang kita mengetahui lebih baik yakni agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain. Untuk menghindari pertentangan yang mungkin dapat terjadi, pendekatan kita yang kedua menyarankan bahwa kita harus dengan hati-hati mengontraskan sains dan agama, atau mempunyai wilayah independensi masing-masing. Sains dan agama merupakan cara pemahaman akan realitas yang benar-benar terlepas dari satusama lain sehingga tidak ada artinya sama sekali kalau kita mempertentangkan mereka. Bisa dipahami bahwa banyak teolog dan ilmuan tertarik padanya karena tampaknya dia membuat segala sesuatu tampak begitu jernih dengan memperkenakan kita menganut, baik penemuan-penemuan sains maupun kepercayaan-kepercayan agama, tanpa harus takut akan adanya kemungkinan antagonism.[15]  
Ketiga, pendekatan kontak atau dialog. Metode pendekatan kontras atau independensi boleh jadi merupakan suatu tahap yang penting dalam rangka menggapai kejelasan, tetapi metode ini masih belum mampu juga memuaskan orang-orang yang mengupayakan suatu gambaran yang lebih terpadu akan realitas. Jika sains dan agama benar-benar independen, memang kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, namun memupus kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya. Sebab kita menghayati kehiduan bukan sebagai bagia-bagian yang saling terpisah. Kita merasakan kehidupan sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita membangun berbagai disiplin untuk mempelajari aspek-aspeknya yang berbeda.[16] Dorongan untuk mengupayakan koherensi semua cara pengetahuan kita sangat kuat sehingga kita tidak bisa menekankan sama sekali.
Oleh kaena itu sebagian ilmuan mengusulkan agar kita mempertimbangkan pendekatan ketiga, yaitu pendekatan kontak dan dialog. Cara menghubungkan agama dan sains ini tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-terpilah menjadi dua ranah yang ditetapkan oleh kubu pendekatan kontras. Namun dia juga tidak mau kembali lagi ke harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan.[17]pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan liguistik, tetapi dia tahu bahwa  dalam dunia nyata mereka tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras.
Karena alasan ini, pendekatan kontak mengupayan suatu percakapan yang terbuka antara ilmuan dan teolog. Istilah “kontak” berarti berkumpul bersama-sama tanpa harus melebur. Pendekatan ini memungkinkan adanya interaksi, dialog, dan saling memengaruhi, tetapi mencegah terjadiya peleburan dan pemisahan tegas. Dia bersikeras mempertahankan perbedaan-perbedaan yang ada, tetapi dia juga menghargai relasi. Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan religious dan perspektif keyakinan religious dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta.dia tidak berusaha membuktikan keberadaan Tuhan berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah didalam kerangkan makna keagamaan.
Sebagian Ilmuan tersebut menawarkan fondasi bagi agama dan sains dalam berdialog dengan apa yang disebut oleh mereka realisme kritis (critical realism). Realisme kritis mengatakan bahwa pemahaman kita, baik yang ilmiah maupun yang religious, bisa diarahkan kedunia yaitu alam semesta ataupun Tuhan, karena justru karna alam semesta  dan Tuhan senantiasa terlalu agung untuk dapat dicakap oleh akal budi manusia, maka pemikiran-pemikiran kita baik dalam sains maupun agama juga selalu terbuka untuk diperbaiki.[18]
Oleh karena itu, sains dan agama bisa saling berkontak secara penuh makna hanya ktika mereka sepakat untuk bermain dengan aturan-aturan realism kritis. Sains yang baik, dalam kesepakatan aturan ini, berharap bisa untuk menduga-duga cara-cara segala sesuatu berada dalam alam, tetapi dia selalu mau bersikap kritis terhadap dia menggambarkan dunia. Begitu pula sebuah metode teologis yang berkomitmen pada prinsip-prinsip realism kritis yang sama memungkinkan symbol-simbol dan ide-ide keagamaan kita juga selalu dalam proses perbaikan terus-menerus, dan bahwa dengan suatu cara yang terbatas mereka juga menunjuk  ke satu Realitas Transenden, sesuatu yang benar-benar sulit ditangkap, tetapi juga selalu benar-benar “ada” disana.[19]
Keempat, pendekatan konfirmasi. Pendekatan ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan kegiatan ilmiah. Menurut Haught, sebagian besar kritik atas sains tidak bisa mengakui bahwa sebenarnya sains itu mengalir dari kerinduan sederhana dan rendah hati akan pengetahuan. Kita harus membedakan kerinduan fundamental ini akan kebenaran dari kerinduan-kerinduan manusiawi lainnya, seperti kehendak untuk menikmati kesenangan, kekuasaan, atau rasa aman yang menempatkan sains sebagai pelayan bagi dorongan-dorongan ynag tidak ada kaitan apapun dengan upaya mencari kebenaran tadi. Karena ituk ketika dikatakan agama mengonfirmasi atau mendukung sains, yang dimaksudkan ialah bahwa agama bukannya mendukung sains, yang dimaksudkan ialah bahwa agama bukannya mendukung segala cara yang mengeksploitasi dan melebur sains, melainkan bahwa kerinduan yang netral akan pegetahuan, dari mana sains tumbuh dan berkembang mekar, diteguhkan dengan sangat kuat oleh penafsiran religious atas alam senesta ini.
Pendekatan konfirmasi boleh dirumuskan sebagai pernyataan agama bahwa alam semesta ini merupakan totalitas yang terbatas, koheren, rasional, dan tertata ynag dilandaskan pada kasih dan janji tertinggi, memberi gambaran umum tentang sesuatu yang secara konsisten mendorong pencarian ilmiah tentang pengetahuan dan membebaskan ilmu pengetahuan itu dari keterkaitan-keterkaitan pada ideologi-ideologi yang membelenggu.
Symbol-simbol, cerita-cerita, dan ajaran-ajaran agama meyakinkan kita bahwa ada suatu perspektif yang pasti lebih luas dar pada perspektif kita sendiri, dan bahwa akal budi kita sendiri tidak cukup lapang untuk dapat menampung seluruh horizon ada (being) pada saat tertentu; walaupun demikian, toh segala sesuatu mempunyai arti sehubungan dengan kerangka acuan terakhir. Karena itu,, agama menyiratkan bahwa kita senantiasa harus maju terus melewati pemahaman sempit yang ada sekarang ini, dan terus menyelidiki keluasan serta kedalaman yang sangat penting ini, Menurut Haught, dorongan seperti ini juga dapat secara diam-diam menghidupkan kembali kegiatan penemuan ilmiah. Dengan kata lain, para ilmuan daoat saja seorang teis kerena bidang ilmu mereka memang hidup dari keyakinan  bahwa dunia ini pada kahirnya memang mempunyai arti.
Hal ini terjadi dengan cara melekatkan diri secara langsung pada iman yang harus dipunyai seorang ilmuan tatkala mereka mulai melakukan penyelidikan mereka ke dalam sifat rasionalitas dunia yang tiada habis-habisnya. Karena itu, tempat agama dalam relasi dengan wacana ilmiah bukanlah bahwa agama itu menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang spesifik (karena ini adalah peleburan), melaikan tanggapan terhadap pertanyaan mendasar menyangkut mengapa kita harus melangkah terus dalam petualangan mencari kebenaran.urusan agama bukanlah untuk menempatkan dirinya sendiri disamping sains sebagai rangkaian “jawaban-jawaban” yang bersaing tehadap pertanyaan-pertanyaan ilmiah, melaikan untuk menginfirmasikan ilmuah itu akan koherensi realitas.[20]
Kelima, pendekatan integrasi. Menurut Barbour, pendekatan integrasi antra sains dan agama dapat menjawab dalam teologi natural (natural theology) dan teologi alam (natural theology) dan teologi alam (theology of nature). Jika teologi natural mengklaim bahwa keyakinan agama dapat diperkuat dan didukung dengan argumentasi-argumentasi rasional saintifik, maka teologi alam justru berangkat dari keyakinan keagaamaan dan berupaya memperlihatkan bahwa banyak hal dari keyakinan tersebut sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.[21]
            kemudian teologi alam memperkuat  argumentasi mengenai integrasi antara agama dan sains dengan menggunakan argumentasi filsafat proses (process Philosophy) yang dicanangkan oleh Alfred North Whitehead. Filsafat proses mengatakan bahwa penyusunan dasar realitas bukanlah dua jenis maujud abadi (dualism pikiran/materi) atau satu jenis maujud abadi (meterialisme) melaikan satu jenis peristiwa yang mempunyai dua aspek atau dua fase. Filsafat ini bersifat monistik dalam memotret karakter umum dari semua peristiwa, tetapi mengakui bahwa semua peristiwa dapat diorganisasi dengan beragam cara, mengarah ke keragaman pengaturan untuk berbagai tingkat.[22]
            Pendekatan integrasi mendambakan sebuah visi yang koheren, sebuah visi tentang realitas yang memungkinkan keunikan berbagai pengalaman yang ada. Sedangkan menurut sebagian ilmuan lain, untuk menghasilkan paradigma integrative tersebut dibutuhkan sebuah visi mistik (the mystic vision) selain visi saintifik dalam mencandra fenomena alam semesta dengan segala kompleksitas yang melingkupinya. Sebab visi mistik, dapat menjangkau wilayah-wilayah yang tidak lagi terjelaskan oleh menjangkau wilayah-wilayah yang tidak lagi terjelaskan  oleh sains sehingga visi mistik bisa melengkapi visi saintik dan menjelma sebuah penegrtahuan yang melibatkan sebuah relitas.[23]

2.3  Epilog: Perjumpaan Sains dan Agama
“It has also been said that one must see God in everything; it has also been said that one must see everything in God”[24]
Seseorang harus mampu melihat Tuhan dalam segala sesuatu, dan ia juga mesti bisa melihat sesuatu dalam Tuhan”
Kalimat pertama ini berarti bahwa dalam memahami sebab-sebab ketuhanannya. Ia tidak boleh berhenti pada tataran penampakannya semata, ia mesti menyelami tataran internalnya. Ia harus melihat yang prinsip dalam manifestasi, bentuk dasar yang asli dari bentuk yang sementara. Selain yang aksidental, penting pula untuk bisa melihat yang esensial dalam segala sesuatu. Sedangkan frase kedua diatas, titik tekanannya berhubungan dengan subjek yang memahami, bukan objek yang dipahami. Ini berarti bahwa manusia harus mampu melihat segala sesuatu sesuai dengan semangat sSang Penciptanya, buka dengan pandangan dangkal, profan, dan tingkat sacral. Itulah perspektif integrative antara sains dan agama, yang diungkapkan oleh Frithjof Schuon secara ekspesif.
Dalam konteks inilah, bercermin pada beragam pendekatan yang telah di eksplorasi diatas, sebagai orang yang beragama kebanyakan kita mungkin lebih cenderung untuk menyepakati pendekatan konfirmasi atau bahkan integrasi. Sains sebagai penjelajahan akal pikiran umat manusia untuk mnyimak segala misteri yang tedapat dialam semesta baik dalam tataran kosmos maupun kosmis, sebenarnya merupakan bagian dari perintah agama. Sehingga dalam perspektif teologis, sejatinya sainsmerupakan bagian dari keberagamaan seseorang. Ketika ilmuan menyikap sebuah rahasia tentang tata kerja alam semesta, hakikatnya ia hanya menemukan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang sudah diletakkan oleh Tuhan pada wajah alam semesta .
Demikan pula, dengan kacamata keberagaman kita sebenarnya semua peristiwaa yang tertoreh pada alam semesta dalam segala aspeknya hakikatnya tidak bisa dipisah-pisahkan secara strick dan ketat sebab setiap aktivitas kita senantiasa menghembuskan napas keagamaan. Seorang yang benar-benar beriman, tidak memiliki pengalaman memilah-milah hidupnya menjadi “sacral” dan “sekuler”. Seluruh dimensi kehidupan menjelma pengalaman sacral, seperti yang dpat dilihat pada kenyataan bahwa tindakan-tindakan yang sederhana pun diskaralkan dengan menyebut nama Tuhan secara terus-menerus.[25] Dengan demikian, setiap kegiatan yang kita kerjakan mempuyai keterkaitan dengan seluruh fakta kehidupan, baikyang sesuatu yang profane (duniawi) maupun sesuatu yang sacral (spiritual/ukhrawi).
Pesan moral keagamaan ini ternyata memang diperkuat dengan penemuan terbaru ole seorang fisikawan sekaligus filsuf dari abad kita ini juga, Fritjof Capra dalam karyanya The Hidden Connections. Menurut Capra, dalam jagad raya ini bukan hanya terdapat jarring-jaring kehidupan yang saling terkait satu sama lain (interpendency), tapi juga ada napas (roh) kehidupan yang melandasi segalanya. Namun sperti diakui Capra, wawasan tersebut memang tidak tampak pada level permukaan. Kita harus menyelam kedalam pelung kehidupan, menerapkan penglihatan seorang filsuf atau sufi yang sudah tercerahkan. Dalam bahasa Capra, itulah yang disebut pengalam spiritual (spiritual experience).[26]
Dengan terang perspektif ini, tatkala seorang ilmuan atau saintis tidak merasakan atau enggan mengakui kehadiran Sang Pencipta Yang Maha Akbar, Maha Kuasa, Maha Kreatif, dan Maha Paripurna dalam setiap sketsa yang tampil disemesta, sebenarnya hal itu hanya disebabkan oleh keterbatasan wawasannya, atau ia enggan meneruskan pencariannya karena terjebak ego nalarnya yang terbatas. Pesan ini dilukiskan secara metaforis dengan indah sekali oleh Frithjof Schuon, “ rasionalisme seekor katak yang hidup didsar sumur menginkari keberadaan pegunugan; ini bisa saja masuk akal, tapi tidak ada kaitannya dengan realitas”.[27]

2.4  Konklusi
Akhirnya izinkan kami menutup wacana ini dengan menggunakan frasa bijak seorang Budhis Tantra, Lama Anagarika Govinda, “To the enhghtened man …. Whose consciousness embraces the universe, to him the universe becomes his ‘body’, while his phsycal body becomes a manifestation of the Universal Mind, his inner vision an expression of the highest relity, and his speech an expression of eternal truth and mantric power”.[28] Yakni bagi manusia yang tercerahkan …. Yang kesadarannya merangkul alam semesta, bagiannya alam semesta menjadi “tubuh”nya, sementara tubuh fisiknya menjadi sebuah perwujudan Akal Semesta, dan penglihatan batinnya menjadi sebuah ekspresi realitas tertinggi, dan perkataannya menjelma sebuah ekspresi kebenaran abadi dan kekuatan mantra” semoga.Wallahua’lam bish showab. 



PENUTUP
3.1   KESIMPULAN
Lima Tipologi Hubungan antara Agama dan Sains yaitu; Pertama, pendekatan konflik. Banyak pemikir sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Kedua, pendekatan kontras atau independensi. Di lain pihak,banyak ilmuan dan teolog tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains.
Ketiga, pendekatan kontak atau dialog. Metode pendekatan kontras atau independensi boleh jadi merupakan suatu tahap yang penting dalam rangka menggapai kejelasan, tetapi metode ini masih belum mampu juga memuaskan orang-orang yang mengupayakan suatu gambaran yang lebih terpadu akan realitas.
 Keempat, pendekatan konfirmasi. Pendekatan ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan kegiatan ilmiah. Menurut Haught, sebagian besar kritik atas sains tidak bisa mengakui bahwa sebenarnya sains itu mengalir dari kerinduan sederhana dan rendah hati akan pengetahuan. Kelima, pendekatan integrasi. Menurut Barbour, pendekatan integrasi antra sains dan agama dapat menjawab dalam teologi natural (natural theology) dan teologi alam (natural theology) dan teologi alam (theology of nature).

3.2  SARAN
Dalam penyelesaian makalah ini kami mengalami beberapa hambatan karena terbatasnya sumber-sumber yang bisa dijadikan untuk rujukan. Saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan guna perbaikan makalah  ini dan semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya.




[1]Ian G. Barbour, Issue in science and religion, (New York: Harper Torchbook, 1971) hlm. 299-300.
[2]Ken Wilbert, The Eye of Spirit, (Boston & London: Shambala, 1998), hlm. 1.
[3] John F. Haught, perjumpaan Sains dan Agama, Terj.Fransiskus Borgias, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. xix-xx
[4]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002).
[5]Haught, op. cit., hlm.2-3.
[6]Barbour, op. cit., hlm 47-50
[7]Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, terj. Farid Wajidi & S. Menno, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hlm.34-35
[8]Barbour, op. cit., hlm. 51-52.
[9]Karl R. Popper, Conjectures and Refutations  (London: Routledge, 1989), hlm.26-30, 228-231, & 238-240.
[10] Haught, op.cit., hlm, 4-5
[11] Sthephen W. Hawking, The Theory of  Everything, terj. Ikhlasul Ardi Nugroho, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007); dan Richard Dawkins, The God Delusion, (London: Black Swan, 2007).
[12] Mulyadi Kartanegara, Intgrasi Ilmu (Bandung: Arasy, 2005), hlm. 58-57. & 132-147.
[13]Haught, op. cit., hlm 7-8
[14]Ibid., hlm. 12-13.
[15]Ibid., hlm. 14.
[16] Ibid., hlm.74
[17]Louis Leahy, Jika Sains Mencari Makna, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm.9.
[18]Barbour, Issue in Science and Religion, (New York; Harper Torchboo, 1971) hlm.172-174
[19]Sudarminta, Epistemologi Dasar,  (Yogjakarta: Kanisius,2002), hlm. 80
[20]Haught, op. cit., hlm. 27-31.
[21]Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias, (Bandung: Mizan, 2005). Hlm. 32-33.
[22]Karya Alfred North Whitehead yang berbicara secara komprhensif tentang filsafat proses terdapat dalam, Process and Reality (New York: Macmillan, 1929).
[23]Barbour, 0p.cit., hlm 84.
[24]Alfred North Whitehead, Mencari Tuhan Sepanjang Zaman, Terj. Alois Agus Nugroho, (Bandung: Mizan,2009) hlm.126-127.
[25]Jeffray Lang, Berjuang untuk Berserah, Terj. Ekana Priangga & Satrio Wohono, (Jakarta: Serambi,2003), hlm.42.
[26]Fritjof  Capra, jaring-jaring kehidupan, Terj. Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2002); dan, The Hidden connections, Terj. Andya Primanda, (Yogyakarta: Jalasutra,2007)
[27]Saiyad Fareed Ahmad & Saiyad Salahuddin Ahmad, 5 tantangan Abadi Terhadap Agama, trj. Rudy Harisyah Alam, (Bandung: Mizan, 2008)
[28]Fritjof Capra, The Tao of  Physics, (United State: Random Hause, 197  ) hlm. 305.

No comments:

Post a Comment