PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Hubungan antara agama dan sains bisa di rumut pada
pemberontakan pemikiran yang dilakukan oleh para penemu di bidang sains
terhadap kekuasaan gereja pada abad yang disebut sebagai modern. Pertentangan
pertama di lakukan oleh Galileo dengan membalik ide gereja bahwa bumi sebagai
pusat yang diganti dengan ide bahwa mataharilah sebagai pusat.
Dalam konteks hubungan antara sains dan agama dan
problemnya terhadap manusia modern nama Fritjof Capra mempunyai peran penting.
Capra dalam konteks hubungan antara sains dan agama adalah golongan dan ilmuan
yang mencoba memberikan jawaban atas problem modernitas yang ciri utamanya
adalah mistime timur.
Hubungan antara sains dan agama terjadi ketika ada
perubahan paradigma dalam sains. Pardigma dalam sains telah berubah seiring
dengan ditemukannya teori relativitas dan teori kuantum.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Prawacana
2. Lima Tipologi Hubungan antara Sains dan
Agama
3. Epilog (perjumpaan Sains dan Agama)
3. Epilog (perjumpaan Sains dan Agama)
4. Konklusi
1.3 Tujuan dan
Manfaat
Untuk
memberikan pengetahuan kepada kita tentang perjumpaan antara sains dan agama, mengambil hikmah setiap kejadian untuk menambah ketakwaan kepada
Allah SWT.
PEMBAHASAN
2.1
Prawacana
“The great initial success
of quantum theory cannot covert me, to believe in that fundamental game of dice
….. , I am absolutely convinced, that one will eventually arrive at a theory in
which the objects connected by laws are not probabilities but conceived facts”(Albert
Eitein)[1]
“To understand the
whole, it is necessary to understand the parts. To understand the parts, it is
necessary to understand the whole. Such is the circle of understanding”(Ken
Wilber)[2]
Apakah Sains telah
menyebabkan Agama tidak masuk akal lagi secara intelektual? Apakah Sains
menyingkirkan adanya Tuhan yang personal? Bukankah teori evolusi menyebabkan
seluruh ide mengenai penyelenggaraan Ilahi tidak masuk akal lagi? Apakah kita masih
harus percaya bahwa semesta ini diciptakan oleh Tuhan? Atau bahwa kita berada disini
karena benar-benar dikehendaki oleh sesuatu atau seseorang? Apakah tidak
mungkin bahwa semua pola yang rumit dalam alam semesta ini hanyalah hasil dari
suatu peluang yang serba kebetulan? Dalam zaman yang ditandai dengan kemajuan
sains ini, dapatkah kita secara jujur percaya bahwa alam semesta ini memang
mempunyai arah atau tujuan tertentu?[3]
Lalu bagaimanakah hubungan antara sains dan agama? Pakah keduanya sibuk
berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kecendrungan masing-masing? Apakah
keduanya saling mengonfirmasi terhadap yang lainnya? Apakah keduanya saling
bertentengan dan bermusuhan? Adapun keduanya dapat saling melengkapi dan
berbagi? Atau keduanya bias saling melakukan peleburan dan integrasi?
Semua
pertanyaan-pertanyaan ini, alam tilikan john F. Haught seorang Guru Teologi
Universitas Georgetown Amerika Serikat, merupakan persoalan sains dan agama.
Dalam perspektif Haught, perbincangan
mengenai hubungan antara agama dan sains terklasifikasikan dalam empat
sketsa besar. Pertama, pendekatan
konflik, yakni suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat
dirujukkan. Kedua, pendekatan
kontras, yakni suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang
sungguh-sungguh karena agama dan sains member tanggapan terhadap masalah yang
sangat berbeda.
Ketiga, pendekatan kontak, yakni suatu pendekatan yang mengupayakan
dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya “penyesuaian” antara sains dan agama,
dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman
religious dan teologis. Keempat, pendekatan
konfirmasi, yaitu suati perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting;
perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam,
memdukung, dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.
Senafas dengan Haught,
Ian G. Barbour seorang Guru Besar Fisika dan Teologi di Carleton College
Amerika Serikat, memetakan hubungan antara agama dan sains dalam empat
tipologi: konflik, independensi, dialog, dan integrasi.[4]
Tipologi pendekatan Barbour, dari yang
pertama sampai yang ketiga: konflik, independensi, dan dialog dapat disetarakan
dengan tiga pendekatan Haught yaitu konflik, kontras, dan kontak. Namun
mengenai pendekatan keempat, antara pendekatan konfirmasi dengan integrasi,
tampaknya tidak dapat disamakan secara ketat. Meskipun eksplorasi Haught
tentang konfirmasi dengan penjelasan Barbour tentang integrasi sama-sama
menginginkan keterkaitan, bahkan peleburan antara agama dan sains, namun stressing point keduannya cukup berbeda.
Dengan alasan inilah,
tulisan ini mencoba mengembangkan pendekatan Haught dan Barbour, sehingga
menjadi lima tipologi pendekatan. Dan statement
Einstein dan ken Wilber di awal tulisan ini menjadi entry point mengenai pendekatan dialog, konfirmasi, dan integrasi.
Jika statement Einstein bisa
dikatakan mendambakan adanya dialog yang saling mengisi antara sains dan agama,
maka statement Wilber melangkah lebih
jauh bahwa untuk pemahaman yang lebih holistic dan integral, agama dan sains
harus bisa saling mengisi bahkan
integrai diantara keduannya. Sebab sebagai insan yang beragama dan memiliki
keyakinan religious, secara intrinsic kita merindukan sebuah paradigm yang
holistic, menyatu, saling terhubung, dan tidak terpisahkan antara dimensi
profane dan sacral, dimensi temporal dan immortal, dimensi fisikal dan
spiritual, serta dimensi duniawi dan ukhrawi.
2.2
Lima Tipologi Hubungan antara Agama dan Sains
Di sini akan diuraikan lima
tipologi pendekatan yang cukup berbeda satu sama lain sehingga bisa
mengantarkan kita memahami dan mendalami argumentasi kelima tipologi yang
mempunyai karakteristik spesifik masing-masing. Pertama, pendekatan konflik. Banyak pemikir sangat yakin bahwa
agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Menurut mereka, kalau
anda seorang ilmuan, sulitlah membayangkan bagaimana anda secara jujur bisa
serentak saleh beriman, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya akan Tuhan.
Alasan utama mereka menarik kesimpulan ini ialah bahwa agama jelas-jelas tidak
dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sain bisa
melakukan hal itu. Agama mencoba bersikap diam-diam dan tidak mau memeri
petunjuk konkret tentang keberadaan Tuhan. Dipihak lain, sains mau menguju
semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman. Kaum skeptic (yakni
orang-orang yang menolak agama atas nama sains) mengklaim bahwa agama tidak
bisa melakukan hal tersebut dengan cara bisa memuaskan pihak yang netral.
Kerena itu, mesti ada suatu “pertentangan” antara cara-cara pemahaman ilmiah
dan pemahaman keagamaan.[5]
Contoh popular tentang
pandangan konflik bisa dilihat pada sejarah tragis Galileo dan Darwin. Galileo
mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar dalam orbit
mengelilingi matahari (heliosentris), dan menolak teori Ptalemaeus bahwa
matahari dan planet-planet berputar mengelilingi bumi (geosentris). Tantangan
langsung Galileo terhadap otoritas gereja ketika ia menegaskan bahwa masyarakat
terus menerima tafsiran harfiah atas Alkitab kecuali jika ada teori sains yang
terbukti secara tak terbantahkan. Sejumlah kardinal sebenarnya menaruh simpati
terhadap pandangan Galileo, tetapi paus dan sekelompok kardinal yang
berpengaruh secara politis menentangnya. Akhirnya Galileo dikutuk karena
dianggap mempertanyakan literalisme (tafsiran harfiah) biblika, dan itu
diartikan sebagai menentang gereja.[6]
Selanjutnya konsep evolusi
Darwin yang menganggap manusia hanya sebagai bagian dari alam serta tidak ada
garis pemisah antara kehidupan manusia dan binatang, menciptakan konflik karena
menggugat kemulian martabat manusia. Darwin dan para pengikutnya menekankan
kesamaan antara perilaku binatang dan manusia meskipun bebrapa biolog
menekankan beberpa keistimewaan budaya dan bahasa manusia. Di Inggris, pada
zaman Victoria, bebrapa orang memandang
klaim bahwa “manusia berasal dari kera” sebagai bantahan atas nilai kemanusian.
Gagasan “the survival of the fittes”
(yang bertahan hidup adalah yang teunggul dan terkuat) melumpuhkan moralitas.[7]
Begitu pula, teori evolusi
menantang desain cerdas Illahi dalam alam semesta. Dalam alam semesta statis,
fungsi kompleks organisme dan kehidupan yang harmonis memberikan pandangan yang
persuasive dan argumentative akan adanya pendesain yang cerdas. Akan tetapi,
Darwin mengajukan hipotesis bahwa adaptasi dapat dijelaskan secara memuaskan
melalui proses variasi dan seleksi alam yang impersonal. Darwin percaya bahwa
Tuhan telah mendesain proses evoluasi ini, tetapi tidak mendesain bentuk-bentuk
struktur organisme secara satu per satu. Ia memang tidak percaya jika semesta
terjadi secara kebetulan, namu ia juga tidak yakin bahwa semesta hasil karya
Illahi.[8]
Tetapi masih ada hal yang
lebih penting dari pertimbangan-pertimbangan historis-historis ini, yaitu
kendala-kendala filosofis (khususnya epistemologis) yang diberikan oleh agama
dan teologi terhadap kaum skeptic ilmiah. Masalah utama disini ialah bahwa
pemikiran-pemikiran keagamaan tampaknya tidak bisa diuji berdasarkan
pengalaman. Rupanya, mereka mau mengecualikan diri dari ketatnya pengujian oleh
public, padahal sains selalu menguji pemikiran-pemikiran melalui pengujian yang
terbuka. Kalau penelitian empiric membuktikan bahwa sebuah hipotesis ilmiah itu
ternyata keliru, sains dengan rela membuangnya dan mencoba cara lain dengan
tetap patuh pada proses pengujian yang sama ketat.
Tetapi dapatkan anda
melakukan hal yang sama dengan ajaran-ajaran agama? Bukankah mereka semua
menghindari semua percobaan untuk membuktikan kebenaran mereka berdasarkan
pengamatan? Atau kalau dirumuskan dengan acara lain menurut kaum skeptic,
ajaran-ajaran agama itu “tidak dapat difalsifikasi”. Salah seorang filosof
paling masyhur abad ke-20, Karl Popper mengemukakan bahwa sains sejati harus
sungguh-sungguh berusaha mengajukan bukti yang bisa menunjukkan bahwa pemikiran-pemikirannya
memang keliru. Maksudnya, berbagai macam klaim-klaim sains harus berani
menjalankan proses falsifikasi itu.[9]
Kaum skeptic sering
mengatakan bahwa gama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori ata “keyakinan”,
sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar.
Selain itu, agama terlalu bersandar pada imajinasi liar, sedangkan sains
bertumpu pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah,
dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak terlalu bergairah,
dan objektif. Berbagai antithesis ini tampaknya semakin menambah petunjuk bukti
bahwa antara sains dan agama terdapat suatu permusuhan timbale balik yang tidak
dapat diatasi.[10]
sebagian skeptic yang mengusung pandangan konflik di antaranya adalah Stephen
W. Hawking dan Richrd Dawkins.[11]
Kedua, pendekatan
kontras atau independensi. Di lain pihak,banyak ilmuan dan teolog tidak
menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut meraka
masing-masing abash (valid) meskipun hanya dalam batas ruang lingkup
penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama
dengan tolak ukur sains, dan juga tidak boleh sebaliknya, menilai sains dengan
tolak ukur agama. Sebab pertanyaan yang di ajukan oleh masing-masing sangatlah
berbeda dan isi jawaban-jawaban mereka pun sangat berbeda sehingga tidak ada
gunanya sama sekali kalau kita membandingkan mereka satu sama lain.[12]
Jika agama dan sains
sama-sama mencoba mengerjakan pekerjaan yang sama, mungkin mereka akan
bertantangan. Tetapi mereka benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama.
Kalau kita tetap menjaga mereka dalam wilayah yuridiksinya masing-masing, yaitu
dengan mencegahnya jangan sampai melanggar tepal batas wilayah yang lain, di
sana tidak akan pernah ada “masalah” yang sesungguhnya antara agama dan sains.[13]
Secara lebih spesifik, para
pendukung pendekatan ini menekankan bahwa “permainan” yang dimainkan sains
ialah menguji dunia natural secar empiris, sedangkan permainan agama ialah
menggungkapkan makna terakhir yang melampaui dunia natural secara empiri,
sedangkan permainan agama ialah menggungkan makna terakhir yang melamoaui dunia
yang dikenal secara empiris. Sains memusatkan perhatian pada bagaimana segala
sesuatu tejadi dialam semsta ini, sedangkan agama pada mengapa sesuatu itu ada
(eksis) dan bukannya ketiadaan. Sains berurusan dengan sebab-sebab, sedangkan
agama berurusan dengan makna. Sains berurusan dengan masalah-masalah yang dapat
dipecahkan, sedangkan agama berurusan dengan misteri yang tak terpecahkan.
Sains mencoba menjawab persoalan-persoalan menyangkut cara kerja alam,
sedangkan agama berurusan dengan landasan terakhir dari alam. Sains memberi
perhatian terhadap kebenaran particular, sedangkan agama tertarik untuk
menjelaskan mengapa kita harus mencari kebenaran.[14]
Pada titik inilah, sekarang
kita mengetahui lebih baik yakni agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan
satu sama lain. Untuk menghindari pertentangan yang mungkin dapat terjadi,
pendekatan kita yang kedua menyarankan bahwa kita harus dengan hati-hati
mengontraskan sains dan agama, atau mempunyai wilayah independensi
masing-masing. Sains dan agama merupakan cara pemahaman akan realitas yang
benar-benar terlepas dari satusama lain sehingga tidak ada artinya sama sekali
kalau kita mempertentangkan mereka. Bisa dipahami bahwa banyak teolog dan
ilmuan tertarik padanya karena tampaknya dia membuat segala sesuatu tampak
begitu jernih dengan memperkenakan kita menganut, baik penemuan-penemuan sains
maupun kepercayaan-kepercayan agama, tanpa harus takut akan adanya kemungkinan
antagonism.[15]
Ketiga, pendekatan
kontak atau dialog. Metode pendekatan kontras atau independensi boleh jadi
merupakan suatu tahap yang penting dalam rangka menggapai kejelasan, tetapi
metode ini masih belum mampu juga memuaskan orang-orang yang mengupayakan suatu
gambaran yang lebih terpadu akan realitas. Jika sains dan agama benar-benar
independen, memang kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, namun memupus
kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya.
Sebab kita menghayati kehiduan bukan sebagai bagia-bagian yang saling terpisah.
Kita merasakan kehidupan sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita
membangun berbagai disiplin untuk mempelajari aspek-aspeknya yang berbeda.[16]
Dorongan untuk mengupayakan koherensi semua cara pengetahuan kita sangat kuat
sehingga kita tidak bisa menekankan sama sekali.
Oleh kaena itu sebagian
ilmuan mengusulkan agar kita mempertimbangkan pendekatan ketiga, yaitu
pendekatan kontak dan dialog. Cara menghubungkan agama dan sains ini tidak rela
membiarkan dunia ini terpilah-terpilah menjadi dua ranah yang ditetapkan oleh
kubu pendekatan kontras. Namun dia juga tidak mau kembali lagi ke harmoni yang
dangkal dalam pendekatan peleburan.[17]pendekatan
ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan liguistik,
tetapi dia tahu bahwa dalam dunia nyata
mereka tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh
kubu pendekatan kontras.
Karena alasan ini,
pendekatan kontak mengupayan suatu percakapan yang terbuka antara ilmuan dan
teolog. Istilah “kontak” berarti berkumpul bersama-sama tanpa harus melebur.
Pendekatan ini memungkinkan adanya interaksi, dialog, dan saling memengaruhi,
tetapi mencegah terjadiya peleburan dan pemisahan tegas. Dia bersikeras
mempertahankan perbedaan-perbedaan yang ada, tetapi dia juga menghargai relasi.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas
cakrawala keyakinan religious dan perspektif keyakinan religious dapat
memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta.dia tidak berusaha membuktikan
keberadaan Tuhan berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau menafsirkan
penemuan-penemuan ilmiah didalam kerangkan makna keagamaan.
Sebagian Ilmuan tersebut
menawarkan fondasi bagi agama dan sains dalam berdialog dengan apa yang disebut
oleh mereka realisme kritis (critical realism). Realisme kritis mengatakan
bahwa pemahaman kita, baik yang ilmiah maupun yang religious, bisa diarahkan
kedunia yaitu alam semesta ataupun Tuhan, karena justru karna alam semesta dan Tuhan senantiasa terlalu agung untuk
dapat dicakap oleh akal budi manusia, maka pemikiran-pemikiran kita baik dalam
sains maupun agama juga selalu terbuka untuk diperbaiki.[18]
Oleh karena itu, sains dan
agama bisa saling berkontak secara penuh makna hanya ktika mereka sepakat untuk
bermain dengan aturan-aturan realism kritis. Sains yang baik, dalam kesepakatan
aturan ini, berharap bisa untuk menduga-duga cara-cara segala sesuatu berada
dalam alam, tetapi dia selalu mau bersikap kritis terhadap dia menggambarkan
dunia. Begitu pula sebuah metode teologis yang berkomitmen pada prinsip-prinsip
realism kritis yang sama memungkinkan symbol-simbol dan ide-ide keagamaan kita
juga selalu dalam proses perbaikan terus-menerus, dan bahwa dengan suatu cara
yang terbatas mereka juga menunjuk ke
satu Realitas Transenden, sesuatu yang benar-benar sulit ditangkap, tetapi juga
selalu benar-benar “ada” disana.[19]
Keempat, pendekatan
konfirmasi. Pendekatan ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang
mendalam, mendukung dan menghidupkan kegiatan ilmiah. Menurut Haught, sebagian
besar kritik atas sains tidak bisa mengakui bahwa sebenarnya sains itu mengalir
dari kerinduan sederhana dan rendah hati akan pengetahuan. Kita harus
membedakan kerinduan fundamental ini akan kebenaran dari kerinduan-kerinduan
manusiawi lainnya, seperti kehendak untuk menikmati kesenangan, kekuasaan, atau
rasa aman yang menempatkan sains sebagai pelayan bagi dorongan-dorongan ynag
tidak ada kaitan apapun dengan upaya mencari kebenaran tadi. Karena ituk ketika
dikatakan agama mengonfirmasi atau mendukung sains, yang dimaksudkan ialah
bahwa agama bukannya mendukung sains, yang dimaksudkan ialah bahwa agama
bukannya mendukung segala cara yang mengeksploitasi dan melebur sains, melainkan
bahwa kerinduan yang netral akan pegetahuan, dari mana sains tumbuh dan
berkembang mekar, diteguhkan dengan sangat kuat oleh penafsiran religious atas
alam senesta ini.
Pendekatan konfirmasi boleh
dirumuskan sebagai pernyataan agama bahwa alam semesta ini merupakan totalitas
yang terbatas, koheren, rasional, dan tertata ynag dilandaskan pada kasih dan
janji tertinggi, memberi gambaran umum tentang sesuatu yang secara konsisten
mendorong pencarian ilmiah tentang pengetahuan dan membebaskan ilmu pengetahuan
itu dari keterkaitan-keterkaitan pada ideologi-ideologi yang membelenggu.
Symbol-simbol,
cerita-cerita, dan ajaran-ajaran agama meyakinkan kita bahwa ada suatu
perspektif yang pasti lebih luas dar pada perspektif kita sendiri, dan bahwa
akal budi kita sendiri tidak cukup lapang untuk dapat menampung seluruh horizon
ada (being) pada saat tertentu; walaupun demikian, toh segala sesuatu mempunyai
arti sehubungan dengan kerangka acuan terakhir. Karena itu,, agama menyiratkan
bahwa kita senantiasa harus maju terus melewati pemahaman sempit yang ada
sekarang ini, dan terus menyelidiki keluasan serta kedalaman yang sangat
penting ini, Menurut Haught, dorongan seperti ini juga dapat secara diam-diam
menghidupkan kembali kegiatan penemuan ilmiah. Dengan kata lain, para ilmuan
daoat saja seorang teis kerena bidang ilmu mereka memang hidup dari
keyakinan bahwa dunia ini pada kahirnya
memang mempunyai arti.
Hal ini terjadi dengan cara
melekatkan diri secara langsung pada iman yang harus dipunyai seorang ilmuan tatkala
mereka mulai melakukan penyelidikan mereka ke dalam sifat rasionalitas dunia
yang tiada habis-habisnya. Karena itu, tempat agama dalam relasi dengan wacana
ilmiah bukanlah bahwa agama itu menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang
spesifik (karena ini adalah peleburan), melaikan tanggapan terhadap pertanyaan
mendasar menyangkut mengapa kita harus melangkah terus dalam petualangan
mencari kebenaran.urusan agama bukanlah untuk menempatkan dirinya sendiri
disamping sains sebagai rangkaian “jawaban-jawaban” yang bersaing tehadap
pertanyaan-pertanyaan ilmiah, melaikan untuk menginfirmasikan ilmuah itu akan
koherensi realitas.[20]
Kelima, pendekatan
integrasi. Menurut Barbour, pendekatan integrasi antra sains dan agama dapat
menjawab dalam teologi natural (natural theology) dan teologi alam (natural
theology) dan teologi alam (theology of nature). Jika teologi natural mengklaim
bahwa keyakinan agama dapat diperkuat dan didukung dengan
argumentasi-argumentasi rasional saintifik, maka teologi alam justru berangkat
dari keyakinan keagaamaan dan berupaya memperlihatkan bahwa banyak hal dari
keyakinan tersebut sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.[21]
kemudian teologi
alam memperkuat argumentasi mengenai
integrasi antara agama dan sains dengan menggunakan argumentasi filsafat proses
(process Philosophy) yang dicanangkan oleh Alfred North Whitehead. Filsafat
proses mengatakan bahwa penyusunan dasar realitas bukanlah dua jenis maujud
abadi (dualism pikiran/materi) atau satu jenis maujud abadi (meterialisme)
melaikan satu jenis peristiwa yang mempunyai dua aspek atau dua fase. Filsafat
ini bersifat monistik dalam memotret karakter umum dari semua peristiwa, tetapi
mengakui bahwa semua peristiwa dapat diorganisasi dengan beragam cara, mengarah
ke keragaman pengaturan untuk berbagai tingkat.[22]
Pendekatan integrasi
mendambakan sebuah visi yang koheren, sebuah visi tentang realitas yang
memungkinkan keunikan berbagai pengalaman yang ada. Sedangkan menurut sebagian
ilmuan lain, untuk menghasilkan paradigma integrative tersebut dibutuhkan
sebuah visi mistik (the mystic vision) selain visi saintifik dalam mencandra
fenomena alam semesta dengan segala kompleksitas yang melingkupinya. Sebab visi
mistik, dapat menjangkau wilayah-wilayah yang tidak lagi terjelaskan oleh
menjangkau wilayah-wilayah yang tidak lagi terjelaskan oleh sains sehingga visi mistik bisa
melengkapi visi saintik dan menjelma sebuah penegrtahuan yang melibatkan sebuah
relitas.[23]
2.3
Epilog: Perjumpaan Sains dan Agama
“It has also been said that one must see God in
everything; it has also been said that one must see everything in God”[24]
Seseorang harus mampu melihat Tuhan dalam segala
sesuatu, dan ia juga mesti bisa melihat sesuatu dalam Tuhan”
Kalimat pertama ini berarti bahwa dalam memahami
sebab-sebab ketuhanannya. Ia tidak boleh berhenti pada tataran penampakannya
semata, ia mesti menyelami tataran internalnya. Ia harus melihat yang prinsip
dalam manifestasi, bentuk dasar yang asli dari bentuk yang sementara. Selain
yang aksidental, penting pula untuk bisa melihat yang esensial dalam segala
sesuatu. Sedangkan frase kedua diatas, titik tekanannya berhubungan dengan
subjek yang memahami, bukan objek yang dipahami. Ini berarti bahwa manusia
harus mampu melihat segala sesuatu sesuai dengan semangat sSang Penciptanya,
buka dengan pandangan dangkal, profan, dan tingkat sacral. Itulah perspektif
integrative antara sains dan agama, yang diungkapkan oleh Frithjof Schuon
secara ekspesif.
Dalam konteks inilah, bercermin pada beragam
pendekatan yang telah di eksplorasi diatas, sebagai orang yang beragama
kebanyakan kita mungkin lebih cenderung untuk menyepakati pendekatan konfirmasi
atau bahkan integrasi. Sains sebagai penjelajahan akal pikiran umat manusia
untuk mnyimak segala misteri yang tedapat dialam semesta baik dalam tataran
kosmos maupun kosmis, sebenarnya merupakan bagian dari perintah agama. Sehingga
dalam perspektif teologis, sejatinya sainsmerupakan bagian dari keberagamaan
seseorang. Ketika ilmuan menyikap sebuah rahasia tentang tata kerja alam
semesta, hakikatnya ia hanya menemukan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang
sudah diletakkan oleh Tuhan pada wajah alam semesta .
Demikan pula, dengan kacamata keberagaman kita
sebenarnya semua peristiwaa yang tertoreh pada alam semesta dalam segala aspeknya
hakikatnya tidak bisa dipisah-pisahkan secara strick dan ketat sebab setiap
aktivitas kita senantiasa menghembuskan napas keagamaan. Seorang yang
benar-benar beriman, tidak memiliki pengalaman memilah-milah hidupnya menjadi
“sacral” dan “sekuler”. Seluruh dimensi kehidupan menjelma pengalaman sacral,
seperti yang dpat dilihat pada kenyataan bahwa tindakan-tindakan yang sederhana
pun diskaralkan dengan menyebut nama Tuhan secara terus-menerus.[25]
Dengan demikian, setiap kegiatan yang kita kerjakan mempuyai keterkaitan dengan
seluruh fakta kehidupan, baikyang sesuatu yang profane (duniawi) maupun sesuatu
yang sacral (spiritual/ukhrawi).
Pesan moral keagamaan ini ternyata memang diperkuat dengan
penemuan terbaru ole seorang fisikawan sekaligus filsuf dari abad kita ini
juga, Fritjof Capra dalam karyanya The Hidden Connections. Menurut Capra, dalam
jagad raya ini bukan hanya terdapat jarring-jaring kehidupan yang saling
terkait satu sama lain (interpendency), tapi juga ada napas (roh) kehidupan
yang melandasi segalanya. Namun sperti diakui Capra, wawasan tersebut memang
tidak tampak pada level permukaan. Kita harus menyelam kedalam pelung
kehidupan, menerapkan penglihatan seorang filsuf atau sufi yang sudah
tercerahkan. Dalam bahasa Capra, itulah yang disebut pengalam spiritual
(spiritual experience).[26]
Dengan terang perspektif ini, tatkala seorang ilmuan
atau saintis tidak merasakan atau enggan mengakui kehadiran Sang Pencipta Yang
Maha Akbar, Maha Kuasa, Maha Kreatif, dan Maha Paripurna dalam setiap sketsa
yang tampil disemesta, sebenarnya hal itu hanya disebabkan oleh keterbatasan
wawasannya, atau ia enggan meneruskan pencariannya karena terjebak ego nalarnya
yang terbatas. Pesan ini dilukiskan secara metaforis dengan indah sekali oleh
Frithjof Schuon, “ rasionalisme seekor katak yang hidup didsar sumur menginkari
keberadaan pegunugan; ini bisa saja masuk akal, tapi tidak ada kaitannya dengan
realitas”.[27]
2.4
Konklusi
Akhirnya izinkan kami
menutup wacana ini dengan menggunakan frasa bijak seorang Budhis Tantra, Lama
Anagarika Govinda, “To the enhghtened man …. Whose consciousness embraces the
universe, to him the universe becomes his ‘body’, while his phsycal body
becomes a manifestation of the Universal Mind, his inner vision an expression
of the highest relity, and his speech an expression of eternal truth and
mantric power”.[28] Yakni
bagi manusia yang tercerahkan …. Yang kesadarannya merangkul alam semesta,
bagiannya alam semesta menjadi “tubuh”nya, sementara tubuh fisiknya menjadi
sebuah perwujudan Akal Semesta, dan penglihatan batinnya menjadi sebuah
ekspresi realitas tertinggi, dan perkataannya menjelma sebuah ekspresi
kebenaran abadi dan kekuatan mantra” semoga.Wallahua’lam bish showab.
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Lima Tipologi
Hubungan antara Agama dan Sains yaitu; Pertama, pendekatan konflik. Banyak
pemikir sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan
sains. Kedua, pendekatan kontras atau independensi. Di
lain pihak,banyak ilmuan dan teolog tidak menemukan adanya pertentangan antara
agama dan sains.
Ketiga, pendekatan
kontak atau dialog. Metode pendekatan kontras atau independensi boleh jadi
merupakan suatu tahap yang penting dalam rangka menggapai kejelasan, tetapi
metode ini masih belum mampu juga memuaskan orang-orang yang mengupayakan suatu
gambaran yang lebih terpadu akan realitas.
Keempat, pendekatan
konfirmasi. Pendekatan ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang
mendalam, mendukung dan menghidupkan kegiatan ilmiah. Menurut Haught, sebagian
besar kritik atas sains tidak bisa mengakui bahwa sebenarnya sains itu mengalir
dari kerinduan sederhana dan rendah hati akan pengetahuan. Kelima, pendekatan integrasi. Menurut Barbour, pendekatan
integrasi antra sains dan agama dapat menjawab dalam teologi natural (natural theology)
dan teologi alam (natural theology) dan teologi alam (theology of nature).
3.2
SARAN
Dalam
penyelesaian makalah ini kami mengalami beberapa hambatan karena terbatasnya
sumber-sumber yang bisa dijadikan untuk rujukan. Saran dan kritik yang
membangun sangat dibutuhkan guna perbaikan makalah ini dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
semuanya.
[3]
John F. Haught, perjumpaan Sains dan Agama, Terj.Fransiskus
Borgias, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. xix-xx
[7]Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, terj. Farid Wajidi
& S. Menno, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hlm.34-35
[9]Karl R. Popper, Conjectures and Refutations
(London: Routledge, 1989), hlm.26-30, 228-231, & 238-240.
[10]
Haught, op.cit., hlm, 4-5
[11]
Sthephen W. Hawking, The Theory of Everything, terj. Ikhlasul Ardi Nugroho,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007); dan Richard Dawkins, The God Delusion, (London: Black Swan, 2007).
[12]
Mulyadi Kartanegara, Intgrasi Ilmu (Bandung: Arasy, 2005),
hlm. 58-57. & 132-147.
[16]
Ibid., hlm.74
[21]Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan
dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias, (Bandung: Mizan,
2005). Hlm. 32-33.
[22]Karya Alfred North Whitehead yang
berbicara secara komprhensif tentang filsafat proses terdapat dalam, Process and Reality (New York:
Macmillan, 1929).
[24]Alfred North Whitehead, Mencari Tuhan Sepanjang Zaman, Terj.
Alois Agus Nugroho, (Bandung: Mizan,2009) hlm.126-127.
[25]Jeffray Lang, Berjuang untuk Berserah, Terj. Ekana Priangga & Satrio
Wohono, (Jakarta: Serambi,2003), hlm.42.
[26]Fritjof Capra,
jaring-jaring kehidupan, Terj. Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka,
2002); dan, The Hidden connections,
Terj. Andya Primanda, (Yogyakarta: Jalasutra,2007)
[27]Saiyad Fareed Ahmad & Saiyad
Salahuddin Ahmad, 5 tantangan Abadi
Terhadap Agama, trj. Rudy Harisyah Alam, (Bandung: Mizan, 2008)
No comments:
Post a Comment