A.
PENDAHULUAN
Bila
kita berbicara tentang filsafat maka itu identik dengan pertanyaan, karena
permulaan untuk berfilsafat adalah bertanya. Orang yang berfilsafat adalah
orang yang mempertanyakan sesuatu hal hingga ke akar-akarnya, tujuannya adalah
untuk mencapai sebuah kebenaran. Maka pada permulaan makalah ini juga akan
dipertanyakan berbagai hal diantaranya apa sebenarnya itu kebenaran? Percayakah
kita dengan kenaran? Apakah kebenaran itu ada?. Tentu ini akan lahir
jawaban-jawaban yang berbeda, bagi orang yang telah mencapai apa yang dia
ingingkan maka akan menggangap bahwa kebenaram itu memang benar-benar ada.
Namun bagi seglintir orang yang tidak pernah tercapai akan keinginannya maka
akan menganggap kebenaran itu tidak pernah ada.
Lalu
bagaimana dengan kepastian? Dan bagaimana dengan keberangkalian? Semua itu akan
saling dipertanyakan. Menyangkut dengan
definisi keberangkalian yang asal katanya barangkali dalam (Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia Moderen oleh Muahmmad Ali yang diterbitkan Pustaka Amani
Jakarta ) dijelaskan barangkali yaitu
boleh jadi atau mungkin. Dimana ini mempunyai kesamaan dengan definisi
kemungkinan yang asal katanya mungkin yaitu boleh jadi atau dapat terjadi.
Dari
apa yang telah dipaparkan diatas maka memunculkan beberapa permasalahan, namun
karena luasnya pokok pembahasan maka pemakalah mencoba mempersempit pokok
permasalahan dalam beberapa hal saja yaitu; Kebenaran itu tidak relatif,
kepentingan dibalik upaya merelatifkan kebenaran, selanjutnya kemungkinan dan
kepastian.
Dimana
pembahasan yang disajikan nanti hanya akan menjawab pokok-pokok permaslahan
tersebut.
B.
PEMBAHASAN
KEBENARAN, KEPASTIAN DAN
KEBERANGKALIAN
1. Kebenaran Itu Tidak Relatif
“ Bahkan Samudera Darah pun tidak dapat
menenggelamkan kebenaran”
(Maxim
Gorky, Sastrawan Rusia)
Percayakah
Anda bahwa kebenaran itu sifatnya relatif?
“kebenaran itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap
orang”, begitu kata kawan seorang penulis. Bagaimana pada saat masih percaya pada prinsip hidup yang
dianggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang percaya bahwa
kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah bahwa kebenaran
itu relatif.[1]
Ketidakpercayaan seseorang kepada kebanaran biasanya
timbul akibat sikap frustasi karena apa yang sangat diinginkan tidak tercapai dan tidak terpenuhi. Disini
kita bisa cermati bahwa ketidakpercayaan seseorang pada kebenaran memang lahir
dari pengalaman psikologis bahwa ia memang tidak pernah menemui fakta bahwa apa
yang dia inginkan terpenuhi dalam realitas. Dan dalam realitas apabila keinginan
tidak terpenuhi itu akan menyakitkan sekali, bahkan lebih pahit lagi.
Tapi, bukan berarti bahwa kebenaran tidak ada. Tidak
akan ada kebenaran jika ketika “omongan”, Penilaian, Ungkapan, evaluasi, dan
pengukuran tidak didasarkan pada fakta atau realitas yang secara material ada.[2]
Orang bisa saja berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Aceh Selatan dan
Banda Aceh. Si A akan mengatakan, “ Jioh Tat!” ( katanya dalam bahasa Aceh yang
bila di indonesiakan yaitu “jauh banged )
Si B dapat mengatakan “ah, nggak jauh amat. Satu kedipan aja samapai. Coba Antum
waktu berangkat naik mobilnya tidur, terus paginya bangun, kamu sudah
sampai ke Banda Aceh.” Keduanya mempunyai pengalaman yang berbeda.
Mungkin Si A orang yang miskin yang bila mau pergi
ke Banda Aceh harus naik mobil L-300 yang tingkat kenyamanan nya kurang dan
harus berdesak-desakan dengan penumpang yang lain, ditambah lagi dengan
jalannya mobil yang lambat karena penuhnya penumpang dan barang-barang sehingga
mobil tidak bisa melaju dengan kencang apalagi keadaan mobil yang sudah tua dan
sering mogok, maka perjalanannya terasa sangat jauh sekali. Sedangakan Si B
adalah orang yang kaya, dimana bila mau pergi ke Banda Aceh ia naik mobil
pribadi, mobilnya mahal, ber Ac, punya sopir pribadi, sehingga nyaman untuk
tidur dan jarak yang ditempuh akan cepat. ( dapat kita bayangkan jika, jarak
dari Aceh Selatan dan Banda Aceh ditempuh dengan helikopter pribadi, tentu
jaraknya akan terasa lebih dekat dan waktu tempu cepat).
Hal lain yang harus dicatat bahwa masyarakat kita
selalu tidak fokus dalam menceritakan segala sesuatu, bahkan menjawab
pertanyaan. Penilaiaan terhadap suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan
tidak kongkret pada suatu gejala yang ingin diketahui.[3]
Ketika ditanya, “ seberapa jauh jarak dari Aceh Selatan ke Banda Aceh?” Ia
seringakali tidak menjawab sesuai pertanyaan. Kebanyakan orang akan menjawab
pertanyaan itu, “paling kalau berangakat malam, pagi dan sampai kesana”, jarak
pun ditafsirkan dengan waktu. Padahal, kalau dalam masyarakat telah terbiasa
menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan konkret, antara siapa saja akan
sama.
Dari contoh atas, tampak jelas bahwa ukuran
penilaian orang terhadap sesuatu fakta yang kongkret, misalnya jarak (yang
secara material adalah panjangnya bentangan antara dua tempat atau benda yang
diukur), bisa berbeda-beda tetapi kebenaran sejati tentang jarak itu sendiri
secara objektif (ada, material, dan bisa diukur) tetaplah tidak relatif.
Kebenaran itu objektif, ada riil, dapat diukur
dengan cara yang benar, bukannya relatif. Perasaan bahwa segala sesuatu itu
relatif lahir dari cara berpikir gampangan yang lebih mementingkan kehendak
subjektif dan individualistik, sebuah fallacy, sesat filsafat yang
berkembang dalam anggapan orang yang biasanya malas berpikir dan bekerja keras
dalam menyelesaikan masalah. Cara berfikir relatifistik ini benar-benar
membodohi dan (kalau mau dianut) selalu sesuai dengan kepentingan segelintir
orang yang ingin hidup enaknya sendiri kerana hidupnya telah enak yang
menyebabkan ia malas berpikir dan juga harus menutupi-nutupi realitas
kebenaran. Meraka, kalau bukan orang yang malas, juga orang yang tak jujur, dan
menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri dan
menginjak-injak orang lain.[4]
Bayangkan, jika dizaman yang konon sudah modern ini,
masih ada orang yang beranggapan bahwa kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan
bukan oleh suatu hal yang bersifat material atau konkret, misalnya karena
adanya sejumlah perusahaan-perusahaan negara yang dijual kepada asing, berapa
kekayaan alam yang dirampas penjajah, berapa jumlah subsidi rakyat yang
dicabut, berapa uang yang tidak dialokasikan untuk pendidikan, berapa uang yang
banyak digunakan untuk teknologi militer serta uang yang dikorup, dan
ukuran-ukuran atau tindakan kuantitatif (quantitative meassures) yang
nyata. Nyata, tindakan dan kebijakan nyata, bukan? Yang karenanya dapat
dihitung, dipahami, dan dimengerti. Tapi, apa yang terjadi pada saat masyarakat
kita menderita “cacat pengetahuan” (dan memang sengaja dibodohkan-terbukti
akses terhadap pendidikan sekolah dan pendidikan demokrasi diingkari)?,. banyak
orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan (Kemiskinan dan Penindasan)
bukan karena sebab-sebab kongkret, melainkan karena sebab lain, takdir Tuhan
dan sebab-sebab lainnya yang berada diluar dialektika material.[5]
2.
Kepentingan Di Balik Upaya Merelatifkan
Kebenaran
Menurut Erich Fromm, “Cara lain pengerdilan
pemikiran orisinil adalah dengan menganggap bahwa semua kebenaran itu relatif. Kebenaran
dipahami sebagai konsep metafisik, dan bila seseorang berbicara tentang
keinginan untuk menemukan kebenaran, ia dianggap terbelakang oleh para pemikir
‘progesif’ di zaman kita. Penelitian-penelitian ilmiah harus dipisahkan dari
faktor-faktor subjektif, dan tujuannya adalah untuk melihat dunia tanpa hasrat
dan perhatian.[6]
Didalam kehidupan kita harus mempunyai tujuan,
artinya kita berusaha meraih sesuatu yang kita yakini benar. Karena kalau tidak
kita tidak akan menemukan kebebasan yang bermakna. Tujuan yang baik adalah
tujuan yang objektif, yang didasarkan pada ukuran yang dapat kita buat sesuai
dengan apa yang terjadi dalam realitas yang konkret.
Kasus mengompromikan segala sesuatu yang jelas-jelas
berbeda, seperti menyamakan antara yang kaya dan yang miskin diatas, jelas
merupakan pandangan yang membahayakan. Seakan keyakinan akan sesuatu yang
benar/salah tidak dapat kiat peroleh. Mungkin orang Indonesia adalah orang yang
malas sehingga jauh dari pengetahuan dan kebenaran sehingga sukanya
mengompromikan (‘memukul rata’) atas merelatifkan segala sesuatu. Penjajahan
beratus-ratus tahun telah membuat kita bodoh dan hanya menerima, tak punya
prinsip dan keyakinan yang didasarkan pada kemandirian dalam melihat persoalan.
Ini sungguh membahayakan bagi kita semua.[7]
Kebenaran tidak relatif. Relativisme dan absurdisme
bukan milik orang yang dalam hidupnya ingin menemukan kebenaran untuk menjadi
dasar dalam menilai sesuatu, untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk. Dengan tahu secara benar, mereka ingin memastikan sesuatu dengan
kebenarannya dan ingin membongkar apa yang ingin ditutupi-tutupi oleh orang
jahat yang berusaha memanipulasi kebenarannya. Kebenaran tak boleh dipalsukan,
tak boleh dimanipulasi.[8]
Pertama-tama harus ditegaskan bahwa kita terikat
oleh hukum-hukum material, terutama hukum yang menegaskan bahwa materi itu akan
berubah (dan kita akan mati karena materi tubuh kita menua dan rusak). Materi itu
dialektis atau saling berkaitan. Artinya, keberadaan kita sebagai materi tubuh
sangat bergantung pada sesuatu di luar kita (kita memenuhui kebutuhan kita
bukan dari kita sendiri, tetapi dari luar kita yang kadang sumbernya dikerjakan
oleh orang lain). Lihatlah orang-orang yang merasa bahwa kekayaannya berasal
dari jerih payahnya saja. Mereka ingin hidup enaknya sendiri tanpa memedulikan
nasib orang lain yang sengsara. Mereka yang egois di zaman dulu adalah
raja-raja yang hidup di istana megah, yang dijaga oleh prajurit dan di dalamnya
ada taman bermain sendiri, ada kolam renang dan pelayan-pelayan yang memenuhi
kebutuhannya (termasuk kebutuhan seksual), mereka bahagia dengan keluarganya.
Sementara, rakyat jelata yang merupakan jumlah mayoritas dari rakyat hidup
sengsara, kurang makan, pakaian compang-camping, dan terus saja sengsara hingga
anak cucunya.[9]
itu adalah kontradiksi material yang membuat kita
harus berfikir lebih lanjut tentang makna kebebasan. Kekayaan mereka, kondisi
yang dirasakan orang-orang yang merayakan kesenangan (kebebasan?) itu, bersifat
material. Material berarti dapat dirasakan secara nyata karena ada dan konkret,
dapat diukur keberadaannya. Kaya dan miskin dapat diukur, kaya dan miskin
adalah kategori material yang menyebabkan kontradiksi dalam hubungan sosial.
Ketimpangan antara orang kaya dan miskin, antara yang memiliki dan tidak
memiliki, adalah sumber dari hubungan sosial yang kontradiktif (permasalahan
sosial), yang dalam kehidupan kita ditunjukkan dengan adanya perasaan
pemusuhan, kejahatan, dan kekerasan (mudah-mudahan kebebasan identik dengan
kedamaian dan harmoni dari pada pergolakan).[10]
Banyak pandangan yang mengacaukan masyarakat untuk
menutupi atau menyembunyikan kontradiksi, perbedaan, dan pertentangan antara
yang kaya dan miskin itu, mereka adalah orang yang punya kepentingan untuk
melanggengkan kenyataan kontradiktif yang harus diatasi itu. Mereka berusaha
menutupi kita akan adanya fakta ketimpangan yang menyebabkan kejahahatan dan ekspoitasi
itu. Caranya adalah dengan mengatakan bahwa kaya dan miskin itu sama saja. Bagi
kita yang mengetahui hukum -hukum alam dan materi, tidak mungkin sesuatu yang
secara material berbeda bahkan meskipun perbedaan itu kecil dapat dianggap
sama. Dua hal yang secara material berbeda, tidak boleh dikatakan sama karena
dengan mengatakan sama berarti menutup-nutupi realitas atau mengompromikan
antara keduanya alias “pukul rata”.[11]
Sebelum kita
memaknai arti kebebasan, kita harus berangkat dari upaya untuk menyelidiki
kontradiksi-kontradiksi material yang ada dalam masyarakat kita, dalam hubungan
kita dengan orang lain. Dengan memahami apa yang menyebabkan kontradiksi, apa
yang memungkinkan kita dapat meraih kebebasan, akan membuat kita menemukan
bahwa makna kebebasan itu sangat tergantung pada potensi diri kita, yaitu pengetahuan dan
perasaan kita atau cara kita merespon realitas, cara kita menghubungkan antara
tuntutan-tuntutan diri dan kemungkinan-kemungkinan situasi material di sekitar
kita.[12]
Kebebasan kita berbeda dengan alam. Kebesan alam
adalah free will yang tak dirasakan sebagaimana makhluk hidup berakal dan
berhati seperti manusia. Alam bergerak sesuai dengan syarat-syarat meterialnya
sendiri. Gempa, banjir, thunami, angin topan, dan lain-lain merayakan
kebebasannya sesuai dengan sebab-sebab materialnya sendiri. Sedangkan, manusia
punya kemampuan untuk mengendalikan diri, kebebasan bukan sejenis semangat
kebuasan untuk melakukan apa saja karena kita punya nila-nilai dan
pertimbangan-pertimbangan yang dihasilkan oleh kemampuan kita untuk mengetahui.[13]
3.
Kemungkinan dan Kepastian
Rampatan berperi yang berkaitan dengan gabungan
sifat benda dalam batas pengamatan kita, tanpa memperhatikan manusia tak ada
bahayanya jika faktanya tidak betul. Rampatan tersebut hanyalah perbyataan ujar
(=verbal) tentang apa yang telah diamati, berdasarkan pengamatan, es itu nyata
dingin; nyata tak berwarna; nyata bening; nyata padat; dan
jika dihangatkan benar-benar meleleh dan berubah menjadi air. Semua
fakta yang tak terbantah dan tak dapat diragukan.[14]
Namun
rampatan semacam itu dapat keliru dengan cara lain. Rampatan dapat benar-benar
dalam tautan terbatas, tetapi keliru dalam tautan yang luas. Pada suatu waktu,
misalnya, rampatan bahwa angsa adalah burung putih yang berbentuk dan berukuran
tertentu dan berenag di air diterima dengan baik oleh penduduk Eropa Barat.
Namun, ketika beberapa diantara mereka menemukan australia, mereka melihat
burung yang segala cirinya sama dengan angsa, kecuali warnanya hitam.
Akibatnya, mereka terpaksa harus mengubah rampatan yang sebelumnya dengan
menghilangkan warna dari gabungan ciri yang semula dianggap sebagai salah
satu ciri keluarga burung tersebut.[15]
Contoh itu menggambarakan bahwa cara pengetahuan
manusia tentang benda berkembang dari yang khusus ke yang umum. Hal itu
berlangsung dengan cara meghilangkan dari dalam rampatan kelompok benda itu
sifat yang tidak berlaku umum bagi anggota kelompok sehingga akhirnya
tinggalnya tinggal sifat yang berlaku umum saja. Sebenarnya, hal itu
berlangsung melalui serangkaian perkiraan, masing-masing bergantung kepada
semakin luasnya pengalaman selanjutnya. Namun, tak ada rampatan yang absah
secara secara semesta tentang pola sifat yang menjadi ciri kategori benda
tertentu kecuali jika rampatan tersebut didasari pengalaman yang lengkap atas
semua benda jenis itu. Karena itu, walaupun seorang dapat merumuskan rampatan
berperi yang absah dalam batas pengalamannya, ia tak dapat menyatakan dengan
tegas bahwa rampatan itu berlaku semesta karena pengalaman lebih jauh mungkin
akan menunjukkan kecacatan dalam beberapa seginya.[16]
Hal itu membangkitkan pertanyaan apakah kita, dengan
menggunakan pikiran, dapat melampaui batas pengalaman kita. Dapatkah penduduk
Eropa Barat meramalkan bahwa, apabila menemukan bagian bumi yang lain mereka
akan bertemu dengan angsa yang berwarna hitam? Tak ada yang dapat mencegah
mereka untuk berkhayal tentang kemungkinan itu. Akan tetapi, jelas bahwa mereka
tak memiliki kepastian tentang adanya burung semacam itu sampai, secara
kebetulan dengan ditemukannya Australia, pengamatan menunjukkan bahwa angsa
hitam itu benar-benar ada.[17]
Oleh karena itu, secara jujur kita harus mengakui
bahwa derajat kepastian yang melekat pada rempatan berperi bergantung kepada lengkapnya
pengamatan yang mendasari rampatan itu. Untuk memperoleh kepastian yang mutlak,
rampatan harus didasari jenis benda bersangkutan yang diambil dari masa lalu,
masa kini, dan masa yang akan datang. Tentulah hal itu tak mungkin. Sekalipun
demikian, kita hendaknya tidak membiarkan kenyataan itu menyesatkan kita
sehingga mengabaikan keabsahan ramapatan didalam tautannya. Kenyataan bahwa beberapa
angsa berwarna hitam, walau menyangkal pendapat bahwa semua angsa itu putih,
tidaklah mengurangi kepastian bahwa angsa dalam sub kelompok tertentu berwarna
putih.[18]
Rampatan selanjutnya yaitu “rampatan pejelasan”,
disini kita memperhatikan cara munculnya beberapa benda tertentu. Berikut
contohnya.
Saya berdiri didepan meja billiar. Di antara saya
dan meja ada tabir yang menghalangi saya untuk melihat bagian tengah seluas
sepertiga permukaan meja. Pada waktu menonton, saya melihat bola putih bergerak
cepat melintasi meja dan lenyap di balik tabir. Selanjutnya bola itu muncul
disisi lain dan terus bergerak. Namun, tidak selalu terjadi demikian.
Kadang-kadang bola merah muncul. Ketika pertama kali hal itu terjadi, saya
hanya mencatat fakta. Tetapi, dengan pengalaman selanjutnya, saya mulai
bertanya-tanya apakah bola merah muncul lebih sering dari pada yang saya
perkirakan seandainya itu hanya kebetulan. Sya mulai menduga-duga bahwa mungkin
terdapat kaitan antara masuknya bola bola putih dan munculnya bola merah.
Semakin sering saya melihat hal itu terjadi, dugaan saya semakin kuat.[19]
Sekarang, kemelitian saya timbul dan saya tak dapat
diam sampai saya dapat menjelaskan kepada diri sendiri-sebuah hipotesis tentang
perturutan kejadian yang tampak itu. Salah satu kemungkinan yang tejadi pada
diri saya (atau mungkin, seandainya saya seorang awam yang tak mengetahui
apapun tentang biliar) adalah sesuatu
terjadi dibalik tabir yang mengubah warna bola yang masuk ke dalamnya dari
putih menjadi merah. Sebab, saya pernah melihat apel berubah warna dari hijau
menjadi merah setelah matang dan larutan lakmus berubah warna ketika asam
ditambahkan kedalamnya. Di sisi lain saya mengira bahwa mungkin ada bola merah
yang diam di m tabir dan bila bola putih yang menyentuhnya, bola itu mendorong
bola merah bergulir ke tempat terbuka. Selanjutnya saya mengetahui bahwa setiap
kali, sebelum bola merah muncul, saya mendengar bunyi detak yang tajam, seperti
yang biasa terdengar bila bola biliar berbenturan. Selanjutnya, hanya bila bola
putih bergerak ke arah tertentu, bola merah akan muncul. Kini saya mulai
tertarik kepda hipotesis kedua. Karena saya tak dapat melihat apa yang terjadi
dibalik tabir, saya tak dapat mengatakan yang mana, jika ada, diantara
penjelasan itu yang benar.[20]
Namun, misalkan disaat lain ketika melihat bola
putih melintasi meja, saya menyingkap tabir. Di situ saya melihat bola merah
diam (yang sebelumnya tak saya ketahui adanya) dan, saat saya lihat, bola putih
menghantamnya. Selanjutnya saya mendengar suara berdetak, lalu melihat bola
merah bergulir dan bola putih berhenti. Kini saya memiliki pengalaman fakta
tentang keseluruhan urutan yang menghubungkan masuknya bola putuh dengan
munculnya bola merah, dan akibatnya, saya terbebas dari perlunya berspekulasi
tentang hubungan antara dua kejadian itu. Jadi, penjelasan saya tentang cara
terjadinya hal yang dipertanyakan itu dengan jelas diterjemahkan dari status
kecurigaan ke dugaaan, dari dugaan ke peluang. Namun, ketika saya benar-benar
mengamati urutan selengkapnya, status itu beralih kepada kategori lain, yaitu
kepastian. Penjelasan berhenti dari hipotesis, lalu berubah menjadi masalah
fakta.[21]
Walaupun sederhana, contoh diatas menggambarkan
beberapa hal penting tentang perkembangan cara pemahaman manusia mengenai apa
yang menyebabkan peristiwa alam.
C.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan
bahwasanya kebenaran itu tidaklah relatif, karena kebenaran itu objektif, rill dapat
diukur dengan cara yang benar, bukannya relatif. Anggapan yang mengganggap
kebenaran itu relatif hanya karena dia frustasi dalam hidupnya atau hanya untuk
kepentingan pribadinya semata.
seorang dapat merumuskan rampatan berperi yang absah
dalam batas pengalamannya, ia tak dapat menyatakan dengan tegas bahwa rampatan
itu berlaku semesta karena pengalaman lebih jauh mungkin akan menunjukkan
kecacatan dalam beberapa seginya. derajat kepastian yang melekat pada
rempatan berperi bergantung
kepada lengkapnya pengamatan yang mendasari rampatan itu.
Pengamatan bisa membawa kita dari sikap kecurigaan
ke dugaan, dari dugaan ke peluang. Namun, ketika kita benar-benar mengamati
urutan selengkapnya, status itu beralih kepada kategori lain, yaitu kepastian.
Penjelasan berhenti dari hipotesis, lalu berubah menjadi masalah fakta.
Daftar Pustaka
Himsworth,
Harold. 1997. Pengetahuan Keilmuan dan Pemikiran Filosofi, terj. Ahmad
Binadja. Bandung: ITB.
Soyomukti,
Nurani. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
[1]Nurani
Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011,
Cet-1), hlm 198.
[2]Ibid,
hlm 198
[3]Ibid,
hlm 199.
[4]
Ibid, hlm 200.
[5]Ibid,
hlm 200-201.
[6]Ibid,
hlm 201.
[7]Ibid,
hlm 201-202.
[8]Ibid,
hlm 202.
[9]Ibid,
hlm 202-203.
[10]Ibid,
hlm 203
[11]Ibid,
hlm 203-204.
[12]Ibid,
hlm 204-206.
[13]Ibid,
hlm 206.
[14]Harold
Himsworth, Pengetahuan Keilmuan dan Pemikiran Filosofi, terj. Ahmad
Binadja, ( Bandung: ITB, 1997 ), hlm 31.
[15]Ibid,
hlm 31.
[16]
Ibid, hlm 31.
[17]Ibid,
hlm 31-32.
[18]Ibid,
hlm 32.
[19]Ibid
hlm 33.
[20]Ibid,
hlm 33.
[21]Ibid,
hlm 33-34.
No comments:
Post a Comment