Thursday, February 25, 2016

Makalah Filsafat Ilmu: kepastian dan kebenran

A.    PENDAHULUAN
Bila kita berbicara tentang filsafat maka itu identik dengan pertanyaan, karena permulaan untuk berfilsafat adalah bertanya. Orang yang berfilsafat adalah orang yang mempertanyakan sesuatu hal hingga ke akar-akarnya, tujuannya adalah untuk mencapai sebuah kebenaran. Maka pada permulaan makalah ini juga akan dipertanyakan berbagai hal diantaranya apa sebenarnya itu kebenaran? Percayakah kita dengan kenaran? Apakah kebenaran itu ada?. Tentu ini akan lahir jawaban-jawaban yang berbeda, bagi orang yang telah mencapai apa yang dia ingingkan maka akan menggangap bahwa kebenaram itu memang benar-benar ada. Namun bagi seglintir orang yang tidak pernah tercapai akan keinginannya maka akan menganggap kebenaran itu tidak pernah ada.
Lalu bagaimana dengan kepastian? Dan bagaimana dengan keberangkalian? Semua itu akan saling dipertanyakan.  Menyangkut dengan definisi keberangkalian yang asal katanya barangkali dalam (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen oleh Muahmmad Ali yang diterbitkan Pustaka Amani Jakarta ) dijelaskan barangkali  yaitu boleh jadi atau mungkin. Dimana ini mempunyai kesamaan dengan definisi kemungkinan yang asal katanya mungkin yaitu boleh jadi atau dapat terjadi.
Dari apa yang telah dipaparkan diatas maka memunculkan beberapa permasalahan, namun karena luasnya pokok pembahasan maka pemakalah mencoba mempersempit pokok permasalahan dalam beberapa hal saja yaitu; Kebenaran itu tidak relatif, kepentingan dibalik upaya merelatifkan kebenaran, selanjutnya kemungkinan dan kepastian.
Dimana pembahasan yang disajikan nanti hanya akan menjawab pokok-pokok permaslahan tersebut.
 




B.    PEMBAHASAN


KEBENARAN, KEPASTIAN DAN
KEBERANGKALIAN
1.     Kebenaran Itu Tidak Relatif
“ Bahkan Samudera Darah pun tidak dapat menenggelamkan kebenaran”
                                                            (Maxim Gorky, Sastrawan Rusia)

            Percayakah Anda bahwa kebenaran itu sifatnya relatif?
“kebenaran itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang”, begitu kata kawan seorang penulis. Bagaimana pada saat  masih percaya pada prinsip hidup yang dianggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang percaya bahwa kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah bahwa kebenaran itu relatif.[1]
Ketidakpercayaan seseorang kepada kebanaran biasanya timbul akibat sikap frustasi karena apa yang sangat diinginkan  tidak tercapai dan tidak terpenuhi. Disini kita bisa cermati bahwa ketidakpercayaan seseorang pada kebenaran memang lahir dari pengalaman psikologis bahwa ia memang tidak pernah menemui fakta bahwa apa yang dia inginkan terpenuhi dalam realitas. Dan dalam realitas apabila keinginan tidak terpenuhi itu akan menyakitkan sekali, bahkan lebih pahit lagi.
Tapi, bukan berarti bahwa kebenaran tidak ada. Tidak akan ada kebenaran jika ketika “omongan”, Penilaian, Ungkapan, evaluasi, dan pengukuran tidak didasarkan pada fakta atau realitas yang secara material ada.[2] Orang bisa saja berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Aceh Selatan dan Banda Aceh. Si A akan mengatakan, “ Jioh Tat!” ( katanya dalam bahasa Aceh yang bila di indonesiakan yaitu  “jauh banged ) Si B dapat mengatakan “ah, nggak jauh amat. Satu kedipan aja samapai. Coba Antum waktu berangkat naik mobilnya tidur, terus paginya bangun, kamu sudah sampai ke Banda Aceh.” Keduanya mempunyai pengalaman yang berbeda.
Mungkin Si A orang yang miskin yang bila mau pergi ke Banda Aceh harus naik mobil L-300 yang tingkat kenyamanan nya kurang dan harus berdesak-desakan dengan penumpang yang lain, ditambah lagi dengan jalannya mobil yang lambat karena penuhnya penumpang dan barang-barang sehingga mobil tidak bisa melaju dengan kencang apalagi keadaan mobil yang sudah tua dan sering mogok, maka perjalanannya terasa sangat jauh sekali. Sedangakan Si B adalah orang yang kaya, dimana bila mau pergi ke Banda Aceh ia naik mobil pribadi, mobilnya mahal, ber Ac, punya sopir pribadi, sehingga nyaman untuk tidur dan jarak yang ditempuh akan cepat. ( dapat kita bayangkan jika, jarak dari Aceh Selatan dan Banda Aceh ditempuh dengan helikopter pribadi, tentu jaraknya akan terasa lebih dekat dan waktu tempu cepat).
Hal lain yang harus dicatat bahwa masyarakat kita selalu tidak fokus dalam menceritakan segala sesuatu, bahkan menjawab pertanyaan. Penilaiaan terhadap suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan tidak kongkret pada suatu gejala yang ingin diketahui.[3] Ketika ditanya, “ seberapa jauh jarak dari Aceh Selatan ke Banda Aceh?” Ia seringakali tidak menjawab sesuai pertanyaan. Kebanyakan orang akan menjawab pertanyaan itu, “paling kalau berangakat malam, pagi dan sampai kesana”, jarak pun ditafsirkan dengan waktu. Padahal, kalau dalam masyarakat telah terbiasa menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan konkret, antara siapa saja akan sama.
Dari contoh atas, tampak jelas bahwa ukuran penilaian orang terhadap sesuatu fakta yang kongkret, misalnya jarak (yang secara material adalah panjangnya bentangan antara dua tempat atau benda yang diukur), bisa berbeda-beda tetapi kebenaran sejati tentang jarak itu sendiri secara objektif (ada, material, dan bisa diukur) tetaplah tidak relatif.
Kebenaran itu objektif, ada riil, dapat diukur dengan cara yang benar, bukannya relatif. Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir gampangan yang lebih mementingkan kehendak subjektif dan individualistik, sebuah fallacy, sesat filsafat yang berkembang dalam anggapan orang yang biasanya malas berpikir dan bekerja keras dalam menyelesaikan masalah. Cara berfikir relatifistik ini benar-benar membodohi dan (kalau mau dianut) selalu sesuai dengan kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enaknya sendiri kerana hidupnya telah enak yang menyebabkan ia malas berpikir dan juga harus menutupi-nutupi realitas kebenaran. Meraka, kalau bukan orang yang malas, juga orang yang tak jujur, dan menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri dan menginjak-injak orang lain.[4]
Bayangkan, jika dizaman yang konon sudah modern ini, masih ada orang yang beranggapan bahwa kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan bukan oleh suatu hal yang bersifat material atau konkret, misalnya karena adanya sejumlah perusahaan-perusahaan negara yang dijual kepada asing, berapa kekayaan alam yang dirampas penjajah, berapa jumlah subsidi rakyat yang dicabut, berapa uang yang tidak dialokasikan untuk pendidikan, berapa uang yang banyak digunakan untuk teknologi militer serta uang yang dikorup, dan ukuran-ukuran atau tindakan kuantitatif (quantitative meassures) yang nyata. Nyata, tindakan dan kebijakan nyata, bukan? Yang karenanya dapat dihitung, dipahami, dan dimengerti. Tapi, apa yang terjadi pada saat masyarakat kita menderita “cacat pengetahuan” (dan memang sengaja dibodohkan-terbukti akses terhadap pendidikan sekolah dan pendidikan demokrasi diingkari)?,. banyak orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan (Kemiskinan dan Penindasan) bukan karena sebab-sebab kongkret, melainkan karena sebab lain, takdir Tuhan dan sebab-sebab lainnya yang berada diluar dialektika material.[5]

2.     Kepentingan Di Balik Upaya Merelatifkan Kebenaran
Menurut Erich Fromm, “Cara lain pengerdilan pemikiran orisinil adalah dengan menganggap bahwa semua kebenaran itu relatif. Kebenaran dipahami sebagai konsep metafisik, dan bila seseorang berbicara tentang keinginan untuk menemukan kebenaran, ia dianggap terbelakang oleh para pemikir ‘progesif’ di zaman kita. Penelitian-penelitian ilmiah harus dipisahkan dari faktor-faktor subjektif, dan tujuannya adalah untuk melihat dunia tanpa hasrat dan perhatian.[6]   
Didalam kehidupan kita harus mempunyai tujuan, artinya kita berusaha meraih sesuatu yang kita yakini benar. Karena kalau tidak kita tidak akan menemukan kebebasan yang bermakna. Tujuan yang baik adalah tujuan yang objektif, yang didasarkan pada ukuran yang dapat kita buat sesuai dengan apa yang terjadi dalam realitas yang konkret.
Kasus mengompromikan segala sesuatu yang jelas-jelas berbeda, seperti menyamakan antara yang kaya dan yang miskin diatas, jelas merupakan pandangan yang membahayakan. Seakan keyakinan akan sesuatu yang benar/salah tidak dapat kiat peroleh. Mungkin orang Indonesia adalah orang yang malas sehingga jauh dari pengetahuan dan kebenaran sehingga sukanya mengompromikan (‘memukul rata’) atas merelatifkan segala sesuatu. Penjajahan beratus-ratus tahun telah membuat kita bodoh dan hanya menerima, tak punya prinsip dan keyakinan yang didasarkan pada kemandirian dalam melihat persoalan. Ini sungguh membahayakan bagi kita semua.[7]
Kebenaran tidak relatif. Relativisme dan absurdisme bukan milik orang yang dalam hidupnya ingin menemukan kebenaran untuk menjadi dasar dalam menilai sesuatu, untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan tahu secara benar, mereka ingin memastikan sesuatu dengan kebenarannya dan ingin membongkar apa yang ingin ditutupi-tutupi oleh orang jahat yang berusaha memanipulasi kebenarannya. Kebenaran tak boleh dipalsukan, tak boleh dimanipulasi.[8]
Pertama-tama harus ditegaskan bahwa kita terikat oleh hukum-hukum material, terutama hukum yang menegaskan bahwa materi itu akan berubah (dan kita akan mati karena materi tubuh kita menua dan rusak). Materi itu dialektis atau saling berkaitan. Artinya, keberadaan kita sebagai materi tubuh sangat bergantung pada sesuatu di luar kita (kita memenuhui kebutuhan kita bukan dari kita sendiri, tetapi dari luar kita yang kadang sumbernya dikerjakan oleh orang lain). Lihatlah orang-orang yang merasa bahwa kekayaannya berasal dari jerih payahnya saja. Mereka ingin hidup enaknya sendiri tanpa memedulikan nasib orang lain yang sengsara. Mereka yang egois di zaman dulu adalah raja-raja yang hidup di istana megah, yang dijaga oleh prajurit dan di dalamnya ada taman bermain sendiri, ada kolam renang dan pelayan-pelayan yang memenuhi kebutuhannya (termasuk kebutuhan seksual), mereka bahagia dengan keluarganya. Sementara, rakyat jelata yang merupakan jumlah mayoritas dari rakyat hidup sengsara, kurang makan, pakaian compang-camping, dan terus saja sengsara hingga anak cucunya.[9]
itu adalah kontradiksi material yang membuat kita harus berfikir lebih lanjut tentang makna kebebasan. Kekayaan mereka, kondisi yang dirasakan orang-orang yang merayakan kesenangan (kebebasan?) itu, bersifat material. Material berarti dapat dirasakan secara nyata karena ada dan konkret, dapat diukur keberadaannya. Kaya dan miskin dapat diukur, kaya dan miskin adalah kategori material yang menyebabkan kontradiksi dalam hubungan sosial. Ketimpangan antara orang kaya dan miskin, antara yang memiliki dan tidak memiliki, adalah sumber dari hubungan sosial yang kontradiktif (permasalahan sosial), yang dalam kehidupan kita ditunjukkan dengan adanya perasaan pemusuhan, kejahatan, dan kekerasan (mudah-mudahan kebebasan identik dengan kedamaian dan harmoni dari pada pergolakan).[10]
Banyak pandangan yang mengacaukan masyarakat untuk menutupi atau menyembunyikan kontradiksi, perbedaan, dan pertentangan antara yang kaya dan miskin itu, mereka adalah orang yang punya kepentingan untuk melanggengkan kenyataan kontradiktif yang harus diatasi itu. Mereka berusaha menutupi kita akan adanya fakta ketimpangan yang menyebabkan kejahahatan dan ekspoitasi itu. Caranya adalah dengan mengatakan bahwa kaya dan miskin itu sama saja. Bagi kita yang mengetahui hukum -hukum alam dan materi, tidak mungkin sesuatu yang secara material berbeda bahkan meskipun perbedaan itu kecil dapat dianggap sama. Dua hal yang secara material berbeda, tidak boleh dikatakan sama karena dengan mengatakan sama berarti menutup-nutupi realitas atau mengompromikan antara keduanya alias “pukul rata”.[11]
  Sebelum kita memaknai arti kebebasan, kita harus berangkat dari upaya untuk menyelidiki kontradiksi-kontradiksi material yang ada dalam masyarakat kita, dalam hubungan kita dengan orang lain. Dengan memahami apa yang menyebabkan kontradiksi, apa yang memungkinkan kita dapat meraih kebebasan, akan membuat kita menemukan bahwa makna kebebasan itu sangat tergantung pada  potensi diri kita, yaitu pengetahuan dan perasaan kita atau cara kita merespon realitas, cara kita menghubungkan antara tuntutan-tuntutan diri dan kemungkinan-kemungkinan situasi material di sekitar kita.[12]
Kebebasan kita berbeda dengan alam. Kebesan alam adalah free will yang tak dirasakan sebagaimana makhluk hidup berakal dan berhati seperti manusia. Alam bergerak sesuai dengan syarat-syarat meterialnya sendiri. Gempa, banjir, thunami, angin topan, dan lain-lain merayakan kebebasannya sesuai dengan sebab-sebab materialnya sendiri. Sedangkan, manusia punya kemampuan untuk mengendalikan diri, kebebasan bukan sejenis semangat kebuasan untuk melakukan apa saja karena kita punya nila-nilai dan pertimbangan-pertimbangan yang dihasilkan oleh kemampuan kita untuk mengetahui.[13]

3.     Kemungkinan dan Kepastian
Rampatan berperi yang berkaitan dengan gabungan sifat benda dalam batas pengamatan kita, tanpa memperhatikan manusia tak ada bahayanya jika faktanya tidak betul. Rampatan tersebut hanyalah perbyataan ujar (=verbal) tentang apa yang telah diamati, berdasarkan pengamatan, es itu nyata dingin; nyata tak berwarna; nyata bening; nyata padat; dan jika dihangatkan benar-benar meleleh dan berubah menjadi air. Semua fakta yang tak terbantah dan tak dapat diragukan.[14]
 Namun rampatan semacam itu dapat keliru dengan cara lain. Rampatan dapat benar-benar dalam tautan terbatas, tetapi keliru dalam tautan yang luas. Pada suatu waktu, misalnya, rampatan bahwa angsa adalah burung putih yang berbentuk dan berukuran tertentu dan berenag di air diterima dengan baik oleh penduduk Eropa Barat. Namun, ketika beberapa diantara mereka menemukan australia, mereka melihat burung yang segala cirinya sama dengan angsa, kecuali warnanya hitam. Akibatnya, mereka terpaksa harus mengubah rampatan yang sebelumnya dengan menghilangkan warna dari gabungan ciri yang semula dianggap sebagai salah satu  ciri keluarga burung tersebut.[15]
Contoh itu menggambarakan bahwa cara pengetahuan manusia tentang benda berkembang dari yang khusus ke yang umum. Hal itu berlangsung dengan cara meghilangkan dari dalam rampatan kelompok benda itu sifat yang tidak berlaku umum bagi anggota kelompok sehingga akhirnya tinggalnya tinggal sifat yang berlaku umum saja. Sebenarnya, hal itu berlangsung melalui serangkaian perkiraan, masing-masing bergantung kepada semakin luasnya pengalaman selanjutnya. Namun, tak ada rampatan yang absah secara secara semesta tentang pola sifat yang menjadi ciri kategori benda tertentu kecuali jika rampatan tersebut didasari pengalaman yang lengkap atas semua benda jenis itu. Karena itu, walaupun seorang dapat merumuskan rampatan berperi yang absah dalam batas pengalamannya, ia tak dapat menyatakan dengan tegas bahwa rampatan itu berlaku semesta karena pengalaman lebih jauh mungkin akan menunjukkan kecacatan dalam beberapa seginya.[16]
Hal itu membangkitkan pertanyaan apakah kita, dengan menggunakan pikiran, dapat melampaui batas pengalaman kita. Dapatkah penduduk Eropa Barat meramalkan bahwa, apabila menemukan bagian bumi yang lain mereka akan bertemu dengan angsa yang berwarna hitam? Tak ada yang dapat mencegah mereka untuk berkhayal tentang kemungkinan itu. Akan tetapi, jelas bahwa mereka tak memiliki kepastian tentang adanya burung semacam itu sampai, secara kebetulan dengan ditemukannya Australia, pengamatan menunjukkan bahwa angsa hitam itu benar-benar ada.[17]
Oleh karena itu, secara jujur kita harus mengakui bahwa derajat kepastian yang melekat pada rempatan  berperi bergantung kepada lengkapnya pengamatan yang mendasari rampatan itu. Untuk memperoleh kepastian yang mutlak, rampatan harus didasari jenis benda bersangkutan yang diambil dari masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Tentulah hal itu tak mungkin. Sekalipun demikian, kita hendaknya tidak membiarkan kenyataan itu menyesatkan kita sehingga mengabaikan keabsahan ramapatan didalam tautannya. Kenyataan bahwa beberapa angsa berwarna hitam, walau menyangkal pendapat bahwa semua angsa itu putih, tidaklah mengurangi kepastian bahwa angsa dalam sub kelompok tertentu berwarna putih.[18]
Rampatan selanjutnya yaitu “rampatan pejelasan”, disini kita memperhatikan cara munculnya beberapa benda tertentu. Berikut contohnya.
Saya berdiri didepan meja billiar. Di antara saya dan meja ada tabir yang menghalangi saya untuk melihat bagian tengah seluas sepertiga permukaan meja. Pada waktu menonton, saya melihat bola putih bergerak cepat melintasi meja dan lenyap di balik tabir. Selanjutnya bola itu muncul disisi lain dan terus bergerak. Namun, tidak selalu terjadi demikian. Kadang-kadang bola merah muncul. Ketika pertama kali hal itu terjadi, saya hanya mencatat fakta. Tetapi, dengan pengalaman selanjutnya, saya mulai bertanya-tanya apakah bola merah muncul lebih sering dari pada yang saya perkirakan seandainya itu hanya kebetulan. Sya mulai menduga-duga bahwa mungkin terdapat kaitan antara masuknya bola bola putih dan munculnya bola merah. Semakin sering saya melihat hal itu terjadi, dugaan saya semakin kuat.[19]
Sekarang, kemelitian saya timbul dan saya tak dapat diam sampai saya dapat menjelaskan kepada diri sendiri-sebuah hipotesis tentang perturutan kejadian yang tampak itu. Salah satu kemungkinan yang tejadi pada diri saya (atau mungkin, seandainya saya seorang awam yang tak mengetahui apapun  tentang biliar) adalah sesuatu terjadi dibalik tabir yang mengubah warna bola yang masuk ke dalamnya dari putih menjadi merah. Sebab, saya pernah melihat apel berubah warna dari hijau menjadi merah setelah matang dan larutan lakmus berubah warna ketika asam ditambahkan kedalamnya. Di sisi lain saya mengira bahwa mungkin ada bola merah yang diam di m tabir dan bila bola putih yang menyentuhnya, bola itu mendorong bola merah bergulir ke tempat terbuka. Selanjutnya saya mengetahui bahwa setiap kali, sebelum bola merah muncul, saya mendengar bunyi detak yang tajam, seperti yang biasa terdengar bila bola biliar berbenturan. Selanjutnya, hanya bila bola putih bergerak ke arah tertentu, bola merah akan muncul. Kini saya mulai tertarik kepda hipotesis kedua. Karena saya tak dapat melihat apa yang terjadi dibalik tabir, saya tak dapat mengatakan yang mana, jika ada, diantara penjelasan itu yang benar.[20]
Namun, misalkan disaat lain ketika melihat bola putih melintasi meja, saya menyingkap tabir. Di situ saya melihat bola merah diam (yang sebelumnya tak saya ketahui adanya) dan, saat saya lihat, bola putih menghantamnya. Selanjutnya saya mendengar suara berdetak, lalu melihat bola merah bergulir dan bola putih berhenti. Kini saya memiliki pengalaman fakta tentang keseluruhan urutan yang menghubungkan masuknya bola putuh dengan munculnya bola merah, dan akibatnya, saya terbebas dari perlunya berspekulasi tentang hubungan antara dua kejadian itu. Jadi, penjelasan saya tentang cara terjadinya hal yang dipertanyakan itu dengan jelas diterjemahkan dari status kecurigaan ke dugaaan, dari dugaan ke peluang. Namun, ketika saya benar-benar mengamati urutan selengkapnya, status itu beralih kepada kategori lain, yaitu kepastian. Penjelasan berhenti dari hipotesis, lalu berubah menjadi masalah fakta.[21]
Walaupun sederhana, contoh diatas menggambarkan beberapa hal penting tentang perkembangan cara pemahaman manusia mengenai apa yang menyebabkan peristiwa alam.
       
           
C.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwasanya kebenaran itu tidaklah relatif, karena kebenaran itu objektif, rill dapat diukur dengan cara yang benar, bukannya relatif. Anggapan yang mengganggap kebenaran itu relatif hanya karena dia frustasi dalam hidupnya atau hanya untuk kepentingan pribadinya semata.
seorang dapat merumuskan rampatan berperi yang absah dalam batas pengalamannya, ia tak dapat menyatakan dengan tegas bahwa rampatan itu berlaku semesta karena pengalaman lebih jauh mungkin akan menunjukkan kecacatan dalam beberapa seginya. derajat kepastian yang melekat pada rempatan  berperi bergantung kepada lengkapnya pengamatan yang mendasari rampatan itu.
Pengamatan bisa membawa kita dari sikap kecurigaan ke dugaan, dari dugaan ke peluang. Namun, ketika kita benar-benar mengamati urutan selengkapnya, status itu beralih kepada kategori lain, yaitu kepastian. Penjelasan berhenti dari hipotesis, lalu berubah menjadi masalah fakta.




Daftar Pustaka
Himsworth, Harold. 1997. Pengetahuan Keilmuan dan Pemikiran Filosofi, terj. Ahmad Binadja. Bandung: ITB.
Soyomukti, Nurani. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.




[1]Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, Cet-1), hlm 198.
[2]Ibid, hlm 198
[3]Ibid, hlm 199.
[4] Ibid, hlm 200.
[5]Ibid, hlm 200-201.
[6]Ibid, hlm 201.
[7]Ibid, hlm 201-202.
[8]Ibid, hlm 202.
[9]Ibid, hlm 202-203.
[10]Ibid, hlm 203
[11]Ibid, hlm 203-204.
[12]Ibid, hlm 204-206.
[13]Ibid, hlm 206.
[14]Harold Himsworth, Pengetahuan Keilmuan dan Pemikiran Filosofi, terj. Ahmad Binadja, ( Bandung: ITB, 1997 ), hlm 31.
[15]Ibid, hlm 31.
[16] Ibid, hlm 31.
[17]Ibid, hlm 31-32.
[18]Ibid, hlm 32.
[19]Ibid hlm 33.
[20]Ibid, hlm 33.
[21]Ibid, hlm 33-34. 

No comments:

Post a Comment